Sabtu, 13 April 2013

Sikongkong – Mudah Dilihat Sulit Didekati



Posting ke-3 dalam series of unfortunate events, eh maksudnya series of intermezzo postings walaupun tulisan kali ini malah tentang tempat yang jarang dibahas (bijimana sih kalau dari tadi ingat ada tempat ini kan gak perlu bikin tulisan intermezzo -____-;). Ditambah lagi info tentang air terjun ini di internet sangat minim, saya cuma nemu sebuah blog yang mengupload foto air terjun Sikongkong dan blognya dah ditutup (gak niat nyarinya kaleee). Ok saya mulai.

Sikongkong adalah nama air terjun yang terletak di dusun Sirangkel Sembungan, desa Mlandi Sembungan, kecamatan Garung Kejajar, Wonosobo, Jateng. Secara astronomis berada - 7.241111, 109.9033. Menurut saya nama Sikongkong ini kok terkesan gimana gitu ya.
Sikongkong dari jalan

Sebenarnya tidak pernah ada niat untuk ke air terjun ini, tapi karena melihat di tengah perjalanan, ya mau bagaimana lagi daripada harus balik lagi ke sini suatu saat nanti. Niat awal saya adalah saya pergi ke air terjun Sikarim terus lanjut naik ke Dieng lewat jalan tersebut. Beberapa puluh meter meninggalkan Sikarim menuju Dieng, saya melihat air terjun lain yang tingginya kira-kira sama atau malah lebih tinggi dari Sikarim. Jalan menuju Sikarim merupakan jalan campuran, dari pertigaan Garung hingga suatu tempat di desa Mlandi merupakan jalan aspal yang lumayan mulus. Setelah itu jalannya berubah menjadi jalan makadam yang tidak terlalu rapi, kemudian tiba-tiba berubah menjadi jalan aspal yang lumayan mulus terus semakin lama semakin rusak. Kemiringan jalan menurut saya masih biasa aja (maklum sudah sering lewat jalan nanjak bahkan yang lebih miring sampai harus dorong-dorong). Beberapa sumber mengatakan kemiringan 50, ada yang bilang 60 derajad, tapi menurut saya cuma 40-an (sotoy), mungkin karena jalannya yang jelek sehingga terasa lebih miring. Karena jalan yang kayak gini makanya saya agak malas kalau harus balik lagi cuma demi Sikongkong.

Rute ke Sikongkong sendiri sama seperti ke Sikarim, dari Wonosobo lanjut ke Garung, belok ke Menjer, pas pertigaan belok kiri ke Mlandi mengikuti jalan aspal, dari Mlandi belok kanan mengikuti jalan yang terbesar dan yang menanjak terus hingga ke jalan terdekat dengan air terjun. Bisa juga dari Dieng, rutenya Dieng ke Sembungan / Sikunir lalu pertigaan di awal masuk kampung belok kanan turun terus hingga jalan terdekat dengan air terjun.

Kebanyakan orang yang datang hanya mengunjungi Sikarim, tanya kenapa? Secara jalan ke Sikarim lebih mudah, tinggal masuk jalan setapak terus sampai deh di bawah air terjun. Alasan lain adalah Sikongkong ini baru kelihatan dari jalan yang lebih atas dari Sikarim, jadi pas habis dari Sikarim mereka turun lagi, padahal bila naik sedikit lagi bakalan lihat Sikongkong (lagi sotoy mode on). Dari Sikarim untuk menuju Sikongkong tinggal naik sedikit lagi tapi jangan kejauhan karena jalan masuknya gak kelihatan dan akan segera menghilang dari pandangan karena tertutup punggungan. Dilihat dari jalan, Sikarim ada di kanan jalan sedangkan Sikongkong ada di kiri jalan. Kendaraan yang bisa digunakan ya sepeda motor sama mobil, kendaraan umum cuma bisa sewa ojek. Untuk yang bawa mobil cukup sampai dekat Sikarim saja, kalau naik-naik lagi bakalan gak bisa muter dan harus lanjut sampai Sembungan, belum kalau ketemu kendaraan lain, bisa bingung sendiri apalagi ketemunya truk bisa gila nanti.

Untuk menuju ke air terjunnya sendiri gak ada petunjuknya, yang bisa jadi patokan adalah jalannya basah (kalau hujan bingung sudah :p) karena ada pipa jalur air. Dari sana naik ke atas ikuti pematang sawah kalau sulit ya turun ke sawah sampai turun ke sungai. Dari sungai ya tinggal naik ikuti asalnya, tinggal loncat sana loncat sini sampai nanti bakalan nemu pipa lagi. Pada suatu titik, saya menemukan kesulitan, karena jalur yang ada menanjak. Jalan tanah yang ada cukup nanjak 70 derajad ditambah kondisi yang licin, sedangkan jika mencoba lewat air harus menghadapi terjunan, dan saya tidak siap untuk basah. Ya terpaksa berkotor ria dengan pegangan pipa dan menyesuaikan titik berat agar tidak kepeleset dan matahin pipa :p. Dari sini ada tantangan lain yang sama tapi kali ini tanahnya pakai semak-semak dan lumut, setelah perjuangan sendiri yang  geje-gejean akhirnya sampai juga di bawah air terjun.
"Rute" perjalanan

Air terjunnya sendiri terletak di antara dua punggungan, tak ada bekas vandalisme yang menjadi bukti bahwa air terjun ini sering didatangi, yang ada cuma sedikit sampah yang berasal dari atas (Sembungan) dan pralon air. Saya tidak berlama-lama di sini karena terlalu mikir kalau hujan turun nanti banjir, atau parahnya longsor dan saya tidak bisa ke mana-mana karena kanan kiri tebing dan tidak bakalan ada yang tahu saya ke sini, cuma ada motor yang parkir dipinggir jalan :p. Untuk menuju ke Sikongkong ini terasa sedang berpetualang di tengah hutan lebat walau cuma sebentar (ini beneran hutan ndul :p). Anggap aja ini lagi mini canyoning J

Oh iya kalau dilihat dari jalan air terjunnya kelihatan tinggi, tapi kalau dari bawah gak tinggi-tinggi banget (efek lihat dari tempat yang lebih rendah dan di bawah air terjun terjadi efek perspektif serta ketutup karena kemiringan).
Sikongkong dari bawah (terlihat pendek banget di foto ini)

Lho ini kok gak sekalian mbahas Sikarim lagian fotonya sikit banjet? Biarin, Sikarim nanti kapan-kapan buat intermezzo saja :p, foto sedikit gak masalah duong, foto kan cuma penghias.

Pantai Pancer Door – Pintu Keluar Grindulu


Tulisan kedua dari serial intermezzo kali ini mengenai pantai yang terletak di Pacitan. Pantai Pancer merupakan pantai yang terletak di sisi timur teluk Pacitan dan masih bersebelahan dengan pantainya orang Pacitan, Teleng Ria. Pancer terletak di Ploso, Kecamatan Pacitan, Pacitan, Jatim. Secara astronomis, pantai ini terletak pada -8.230833333, 111.1030556.

Secara pribadi, saya suka pantai ini, karena pantai ini menyajikan pemandangan yang lumayan ditambah lokasi yang cukup sejuk karena adanya pohon-pohon cemara udang di pantai ini, dan akan lebih bagus jika datang pada saat yang tepat. Mengapa saya katakana pada saat yang tepat, karena warna air di pantai ini tergantung oleh warna air dari sungai Grindulu. Ketika Grindulu tidak membawa material tanah dari hulunya, maka warna airnya benar-benar menyejukkan mata, namun ketika tanah telah terbawa, apalah daya kita hanya bisa melihatnya dan merasa harus menuju ke pantai sebelah :p.
Green Pancer
Pantai ini cukup terkenal terutama bagi para peselancar. Peselancar dari luar negeri pun berdatangan ke pantai ini, mungkin sekalian menjajal ombak di pantai Srau dan pantai Watukarung di sebelah barat. Sebenarnya pertama kali saya ingin datang kemari karena saya ingin mencoba berselancar, tapi ternyata kok gak ada yang nyewainpapan selancar  ya :p. Pas kesana juga  ada yang sedang berselancar, tapi sayangnya cuma bawa poket yang zoom-nya standar-standar saja.
Seorang Peselancar
Saya tidak tahu apakah dikenakan retribusi masuk ke pantai ini atau tidak, tapi sepertinya sih ada karena di jalan ada semacam pos jaga. Pas pertama ke sana saya asal nyelonong ngikutin motor di depan saya yang berhenti di semacam pos tapi saya malah lanjut terus dengan sedikit rasa bersalah (doh). Pas kedua kalinya saya ke sana saya berhenti di depan pos, tapi ada ibu-ibu yang bertanya tempat terus lanjut jalan, la saya jadi bingung karena saya benar-benar gak ditarik apa-apa padahal sudah berhenti dan orangnya tahu, yah mungkin dikira ngikutin ibunya :p.

Jalan beraspal hanya sampai di tengah-tengah (bisa lihat-lihat pantai dulu) dan dilanjut dengan jalan tanah. Di jalan tanah ini banyak kerbau yang diikat di pohon kelapa dan waktu itu ada kerbau yang talinya melintang di tengah jalan sempit yang akan saya lalui. Sempat mikir mau lewat ato ganti jalur, karena mikir ni kerbau kalau tiba-tiba gerak menjauh bisa-bisa motor ane njungkal kena tali -____-;).
Golden Grindulu
Di ujung timur pantai merupakan sungai Grindulu dan merupakan tempat mancing. Di sebelah timur sungai terdapat tebing kapur, namun tebing tersebut sudah bukan termasuk kawasan karst  Gunung Sewu, karena karst Gunung Sewu sendiri memanjang dari Parangtritis di DIY, hingga Teluk Pacitan ini. Jika kita melihat ke utara, kita akan melihat perbukitan yang menjadi hulu sungai Grindulu, seperti Arjosari, Nawangan, dan Tegalombo (saya lebih-lebihkan walau kayaknya sebenarnya tidak terlihat :p). Di pantai ini juga terdapat daerah cukup lapang yang sepertinya enak bukan kemping. Pasir pantai ini kecoklatan dan di dekat aliran sungai agak jemek. Sayangnya pantai ni termasuk jenis pantai yang kotor, penyebabnya karena Grindulu yang mengalir sepanjang 60 an kilometer ini (sebenarnya sih orang yang membuang sampah di DAS Grindulu).

Monjali – Tumpeng Raksasa di Pinggir Jalan


Bingung mau nge-post tentang apa, mau ngepos tempat yang jarang diulas kok kebanyakan dah diulas ya. Itung-itung ini buat intermezzo aja buat nambah kerjaan, makanya hari ini mo banyak nge-post tempat-tempat yang biasa saja :p. Saya awali dengan Museum Monumen Yogya Kembali.

Monjali terletak di utara dari ring road utara Yogyakarta. Secara administratif, monumen ini terletak di Jongkang, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, DIY, tapi kalau saya lihat di peta RBI kok ni museum dah masuk kecamatan Mlati, akan tetapi saya ngikut yang Ngaglik karena di pdf yang saya download dari dinas pariwisata juga nulis demikian. Secara astronomis museum ini berada pada -7.749444444, 110.3694444. Monjali dibangun pada 29 Juni 1985 dan diresmikan oleh presiden kedua RI pada 6 Juli 1989.
Monumen Jogja Kembali

Karena sudah lama tidak ke sini dan tiketnya dah hilang, maka saya kurang tahu harga tiket masuknya, tapi kalau tidak salah buat yang bawa kamera juga bayar (dulu kameranya saya umpetin :p). Di halaman monumen yang juga merangkap sebagai museum ini terdapat kendaraan-kendaraan perang seperti pesawat dan lain-lain. Monumen ini dikelilingi oleh danau yang banyak ikannya dan ada yang nyewain pancing juga -_-;). Di halaman monumen juga terdapat nama-nama orang yang gugur dalam peristiwa perebutan Jogja.

Di dalam museum terdapat 3 lantai, lantai pertama berupa museum, yang kedua berupa ruang diorama, dan yang terakhir berupa ruang mengheningkan cipta. Di lantai pertama yang pintu masuknya berbeda dari lantai lainnya (masuk dari samping) ini terdapat koleksi-koleksi museum seperti senjata-senjata, seragam-seragam, kamar tidur, dan lain-lain. Di lantai kedua yang berupa diorama ya berisi diorama perang. Ruang diorama ini lumayan canggih karena sudah memakai sensor, sehingga kalau ada orang di dekat suatu diorama maka akan secara otomatis dibacakan narasi (kalau gak salah ingat :p). Dan di lantai paling atas cuma ruang kosong untuk mengheningkan cipta.

Di halaman monumen (bagian dalam danau), kita juga bisa mengelilinginya. Di dalamnya terdapat relief-relief tentang perjuangan dan pembangunan di Indonesia. Kalau mau coba naik ke puncak tumpeng juga bisa, tapi lantainya benar-benar licin jadi gak bisa-bisa naik :p
Kambing-kambing yang sedang merumput malam hari :p

Pada malam hari museum ini berubah fungsi menjadi taman lampion yang buka dari sore hingga tengah malam. Taman lampion ini berlokasi di halaman monumen dan tentunya juga harus membayar tiket masuk yang harganya berbeda antara weekend sama weekday. Atraksinya ya Cuma lampu saja ditambah warung makan :p.