Senin, 30 September 2013

Kalianget Sigemplong - Air Panas Berlatar Gunung dan Lembah



Waduh September hampir berakhir dan saya belum ngepos lagi..... Sebenarnya sih dulu dah ngetik-ngetik tentang pantai tapi nggak diterusin -____-;)

Karena akhir-akhir ini saya lagi seneng banget cari mata air panas, yang bahasa inggrisnya hot spring atau bahasa jepangnya Onsen, jadinya ya pos kali ini gak jauh-jauh dari itu hehe.

Prolog

Kalianget terletak di dusun Sigemplong, desa Pranten, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jateng. Secara astronomis terletak pada  -7.183174°, 109.900357°. Nama Kalianget sendiri berarti sungai yang hangat, dan nama Kalianget banyak digunakan untuk penamaan mata air hangat, misalnya di Wonosobo, Wadaslintang, Jojogan (daerah sekitar Dieng), Wanayasa, dll (semua yang saya sebutkan itu belum pernah ada satupun yang saya datangi, paling cuma lewat depannya :p).

Kalianget Sigemplong

Get There

Untuk menuju ke Kalianget Sigemplong ini paling gampang lewat Dieng walau jalannya termasuk agak susah, namun tentunya lebih dekat daripada lewat Bawang. Dari arah Dieng ambil jalur ke arah Batur / Wanayasa / Kawah Candradimuka / dll, intinya ke arah barat dari pertigaan utama Dieng. Nanti bakalan lewat pertigaan ke Candi Arjuna lalu lewat pertigaan Gangsiran Aswatama, ambil lurus, lewati SPBU dan beberapa saat kemudian bakalan nemu perempatan yang ke kiri lewat jalur pipa inspeksi yang jalannya agak naik dan yang ke kanan yang agak turun, ambil jalan yang turun memasuki kampung (namanya Pawuhan). Ikuti jalan yang ada yang masih lumayan bagus belok kiri belok kanan dst, keluar kampung dan bakalan disambut jalan yang rusak dan menanjak.

Ikuti jalan terus, lewati "apanya" geodipa sampai pertigaan. Belok kanan lewati jalan cor-coran terus sampai pertigaan Siglagah. Ambil jalan yang di luar kampung dan bakalan ada jembatan. Di bawah jembatan ini (bukan bawah persis), sebenarnya ada air panasnya, tapi bukan ini yang dimaksud. Ikuti jalan cor-coran, lewati tempat sampah, turun nikung belok kiri belok kanan dst dan beberapa saat kemudian jalanan bakalan berubah menjadi jalan makadam yang uh banget :D (masih menurun). Nah di kanan jalan bakalan ada bangunan, nah disitulah lokasinya. Biar lebih yakin, di situ ada jembatan kecil, dan di sana tertulis Kalianget tapi dari arah sebaliknya baru jelas terbaca :p

Untuk retribusi sendiri, tentu saja tidak ada retribusi baik masuk ataupun parkir.

Oh iya, siapkan kendaraan yang kuat, jika kagak kuat bisa-bisa kagak kuat nanjak buat baliknya :p

Asal mBacot :D

Pemandian Kalianget Sigemplong ini terletak di lereng gunung Sipandu yang masih merupakan wilayah Dataran Tinggi Dieng dan terletak pada ketinggian sekitar 1800 meter di atas permukaan laut. Sebenarnya lokasi kolam air hangat ini tidak terlalu besar, hanya sekitar 2 meter x 5 meter, namun yang ke sini (kelihatannya) lumayan banyak, dibanding ukurannya. Tempatnya memang terletak di aliran sungai kecil (mungkin dekat mata airnya, karena saya juga gak nyusur sampai ke sumbernya) dan  teman saya malah menyebutnya mirip sekolah selokan.

Air di Kalianget warnanya bening, tidak tercium bau belerang, dan rasanya seperti air hangat -___-;), pada beberapa lokasi air hangat di beberapa tempat lain yang pernah saya kunjungi ada yang warnanya kuning, bau belerangnya super bau, dan ada pula yang rasanya asin (mungkin mineral yang terlarut banyak). Suhu airnya cukup hangat, tapi tidak sepanas di kolam terpanas di Banyu Anget Tirtohusodo, dan masih kalah dari air panas Gonoharjo-nya perhutani, tapi tentunya lebih panas daripada Candi Umbul yang suam-suam kuku dan lebih panas dikit daripada di pertirtaan Derekan (di mana pulak itu-itu tempat :P), pas saya mencelupkan kaki pertama kali langsung terasa panasnya, tapi seiring waktu berlalu tubuh pun beradaptasi dengan baik :D.

Pranten dan lembah kali Putih
Pengunjung Kalianget yang paling banyak tentunya adalah warga Sigemplong, dan tempat ini tidak hanya dimanfaatkan untuk mandi, tapi juga mencuci baju, motor, dll. Di tengah-tengah kolam ada batu yang cukup mulus, sepertinya tu batu buat gosok-gosok pakaian. Sayangnya tidak ada tempat sampah di sini, jadinya banyak sampah-sampah plastik di tempat ini hasil dari kegiatan penggunanya. Terlepas dari adanya sampah, pemandangan dari tempat ini cukup enak dilihat, terutama ke arah timur. Di sebelah kolam adalah ladang yang berteras-teras menurun dan terlihat Pranten di lereng sebelah yang terpisahkan oleh kali Putih, terlihat pula puncak menara pada gunung tertinggi di Dieng, Gunung Prau.

Menurut saya waktu terbaik berkunjung adalah waktu menjelang siang, karena lagi sepi-sepinya, tapi kalo pengen ramai ya pas sore hari, pas ibu-ibu sedang mandi plus mencuci :p yang setelahnya berganti dengan bapak-bapak :D. Untuk kamar ganti jangan tanya saya ya :p

Kalau sedang ke Dieng dan pengen atau suka ke pemandian alam terbuka, bisalah mencoba ke tempat ini.

Minggu, 04 Agustus 2013

Gunung Merapi via Deles



Gunung Merapi merupakan gunung yang wilayahnya berada di 2 provinsi dan 4 Kabupaten, Jawa Tengah (Boyolali, Klaten, Magelang) dan DIY (Sleman). Tinggi gunung ini pun berubah-ubah seiring dengan aktivitas dari gunung Merapi dikarenakan lokasi kawah yang berada di sekitar puncak. Tinggi dari gunung ini yang biasa disebutkan di dunia maya adalah 2965 mdpl, sedangkan pada peta RBI dari foto udara 1993/1994 tingginya hanya 2941 mdpl, dan dari peta Belanda tahun 1939 tinggi gunung tersebut hanya 2911 mdpl.

Gunung Merapi mempunyai beberapa rute pendakian, seperti rute Selo, Babadan, Kinahrejo, Deles, dan Cluntang. Jalur Selo Merupakan jalur paling terkenal, tercepat, terpopuler, dan yang paling gampang, serta jalur paling aman. Jalur Babadan juga lumayan populer (dulu), tapi kemudian jalur ini putus dan sangat sulit untuk dilewati (saya juga belum pernah :p). Jalur Kinahrejo sama nasibnya dengan jalur Babadan yang sudah putus dan menjadi jalur yang berbahaya. Jalur Cluntang... jalur yang aman, tidak terlalu terkena dampak letusan tapi tidak terkenal dan bahkan saya belum pernah membaca catper pendakian dari jalur ini -_-;). Jalur Deles.... baca saja deh :p
Gunung Merapi

Awal Pendakian

Seperti saat mendaki ke Sindoro, saya melakukan pendakian ini dengan 3 personil saja, mbak M dan mas S. Alasan ingin lewat jalur ini karena saya pernah lihat foto di bc Selo dan diceritain kalo jalur ini gak terlalu kena efek letusan. Mengingat jalur ini termasuk jarang dilalui dan belum ada yang pernah, maka saya menyarankan agar mendaki siang hari. Berkumpul di kediaman mas S di daerah Ngaglik, Sleman, kami pun meluncur ke arah Deles dengan 2 sepeda motor. Untuk mencapai Deles sangatlah mudah, paling mudah ya lewat jalan Jogja – Solo, di wilayah Klaten banyak petunjuknya kok, mengingat Deles merupakan tempat wisata. Perjalanan dimulai dari warung bu Mardiyah (?), motor pun dititipkan di sana. Warung ini terletak di dusun Deles di tempat melihat jurang (gak tahu namanya, pokoknya lebih atas dari gua jepang).

Perjalanan di mulai dengan rasa agak malu dikarenakan sepertinya banyak orang (lagi wisata) yang melihat kami. Menyusuri jalan aspal menanjak terus dan akhirnya bingung kapan lewat jalan tanahnya. Usut punya usut ternyata di atas ada basecampnya dan lokasinya dah beda desa -___-;). kalau tahu gini kan dari awal langsung ke basecamp aja gak usah pakai capek-capek lewat jalan aspal ditambah malu :p. Basecampnya ada di Pajegen, desa Tegalmulyo.

Rute Perjalanan

Etape I

Jalur pendakian terdapat di dekat basecamp, melewati sedikit rumah penduduk lalu menyusuri hutan lamtoro dengan sebelah kanan jalur air. Awal-awal masih gampang lah sampai bertemu dengan persimpangan pertama tanpa petunjuk, dipilihlah jalur yang mengarah ke utara naik punggungan, dilihat dari atas, jalur yang satunya mengarah ke punggungan lain. Beberapa saat kemudian menemukan persimpangan lagi yang tanpa petunjuk, dan dipilih yang melalui pinggir sungai dan ketemu simpangan lagi dengan kondisi tanpa petunjuk lagi, kali ini dipilih yang naik punggungan. Setelah itu menyusuri punggungan sampai suatu titik dan jalan menjadi menurun pindah ke punggungan lain dan berakhir bingung :p, walhasil harus balik lagi ke punggungan sebelumnya -___-;). Ternyata sebelum jalan menurun terdapat jalan lurus yang tertutup rerumputan (walah). Beberapa saat kemudian terlihat di bawah terdapat semacam shelter dan terdapat jalan menanjak ke tempat kami, sepertinya jalan yang benar adalah setelah sungai ambil jalan yang satunya. Sepertinya itulah POS I.
Punggungan tipis di sebelah barat (di baliknya ada kali Gendol)

Etape II

Beberapa saat kemudian saya melihat untuk pertama kalinya petunjuk arah bertuliskan GAM (Gabungan Anak Merapi ?), sayangnya tidak berada di persimpangan. Mas S pun berencana kapan-kapan naik lagi dan bikin petunjuk seperti itu, mumpung petunjuknya masih sedikit. Naik naik naik sampai juga di persimpangan yang lagi-lagi tanpa petunjuk -__-;). Pertama ambil lurus, kemudian bingung, karena tidak ingin bernasib seperti sebelumnya balik dan belok ke simpang yang satunya. Ditelusuri jalur tertutup semak-semak, saya sempat ragu tapi masih bisa dilanjutin. Jalan pun menanjak tajam, > 45 derajad, dengan jalur yang gak begitu jelas, pokoknya nanjak. Yang bikin seram adalah sebelah kiri merupakan jurang Kali Woro yang sepertinya > 1 hm, kalau jatuh jangan harap gampang diangkat -___-;). Setelah tanjakan yang melelahkan sampailah di atas dan melihat jalur lain yang sepertinya mengarah ke jalur satunya. Sejurus kemudian sampailah di tempat lumayan bisa buat nge-camp, tapi bukan POS II (tahu setelah searching-searching lagi :p)
Jurang Kali Woro

Etape III

Dari tempat sebelumnya, jalur menjadi agak menurun, kemudian agak belok ke kanan. Jalur yang ada gak begitu terlihat karena tertutup semak-semak dan akhirnya sampai di bawah batu besar. Dari bawah, jalur yang ada adalah naik terus menyeberangi batu (awas licin), setelah itu menanjak lagi -___-;). Skip, skip, skip, sampailah di tempat terbuka cukup satu tenda walau gak begitu terlindung. karena dah gelap diputuskan mendirikan tenda. Lokasi ini adalah tempat in Memoriam dari Heri Wasito. Ketika dah leyeh-leyeh, setelah melihat trek yang tadi, rencana buat bikin petunjuk jalan sepertinya harus diurungkan. Malam pun diakhiri dengan tidur dengan hujan yang turun.

Setelah matahari muncul kembali, ternyata di samping barat tenda masih jurang kali Woro. Siap-siap, beres-beres, skip-skip, jalur yang ada kembali menurun dan naik lagi. Ternyata di bukit yang dinaiki ini, berdirilah (gak ada yang berdiri sih) POS II dengan bangunan antena dan solar sel sebagai tempat mengawasi aktivitas Merapi.
Menyisir punggungan

Etape IV

Dari POS II (dari bawah juga terlihat sebenarnya), terlihat punggungan bukit-bukit berderet hingga Merapi, ya, itulah jalur yang harus dilewati -___-;). Di depan POS II dah menanti punggungan, intinya naik, menyibak-nyibak ilalang yang menutup jalur, kalau gak kuat nanjak pakai dengkul nanjaknya, kalau gak kuat lagi cari pegangan tapi kalau salah dapat pegangan arbei liar yang berduri -___-;). Skip skip skip setelah beberapa tanjakan dan sedikit turunan, jalur berikutnya yang harus dilalui ternyata terkena longsor. Agak buka-buka tanaman buat melewati longsoran yang memang berbahaya jika harus langsung melewati longsoran karena terjalnya lereng. Setelah itu sampailah di punggungan yang lumayan terbuka, tapi tetap saja jalur masih tertutup ilalang -__-;).

Setelah turunan dan tanjakan lagi, sampailah di daerah berbatu. Jalur yang dilalui adalah melalui sisi kiri batu dan di sini adalah vandalisme pertama yang saya lihat. Saya kira di sini adalah tempat watulawang, ternyata bukan (dah banyak berharap -___-;). Sedikit turun dari area batu, langsung dihadapkan dengan tanjakan lagi, dah ketutup, licin, banyak yang berduri, sempit, dan satu-satunya jalur yang ada. Setelah sampai puncak bukit, terlihat tantangan selanjutnya, sebuah bukit sebelum mencapai perbatasan vegetasi. Di tempat ini jugalah lokasi tempat bertemunya jalur Deles dengan jalur Cluntang.
Bukit yang telah dilewati

Etape V

Sedikit turun dengan sebelah kanan jurang sungai yang curam dengan pipa-pipa panjang melintasi sisi-sisi tebing pembatas yang curam yang kadang melewati bekas longsoran kemudian seperti biasa, diikuti dengan tanjakan. Di suatu lokasi, jalur menghilang, pikirnya jalur bakal lewat puncak punggungan lalu turun lagi, ternyata setelah sampai di puncak yang berbatu jalur kembali menghilang walau ada beberapa vandalisme yang membuat asumsi itu adalah jalur yang benar. Mbak M menyarankan menuruni batu, tapi kok agaknya meragukan, batunya kelihatan tinggi, dan ternyata setelah dilihat-lihat dari atas jalurnya melalui sisi kiri puncak bukit, akhirnya kembali lagi ke titik sebelumnya. Di titik sebelumnya jalur benar-benar menghilang tertutup ilalang yang dah benar-benar tinggi. Agak naik dikit menerobos semak, mencoba melihat-lihat kalau ada bagian yang gak ketutup, dan benar saja di depan ada jalurnya. Turunan dua meteran yang ketutup paku-pakuan dan ilalang tinggi yang entah ada apa dibaliknya dituruni dan diterobos menuju jalan yang benar :p. Jalur lalu menurun licin tanpa ilalang, hanya cantigi, kemudian naik lagi dan sampailah di tempat dengan batu yang berlubang besar, inilah Watulawang (kalau di peta nyebutnya Batulawang, yah karena Merapi di Jawa ya saya nyebutnya watu walau saya tahunya watubolong -___-;).
Watulawang
Dari Batulawang, jalur menanjak datar dan terlihatlah puncak Batulawang yang berbatu dan sebelumnya dinaiki, dan ternyata memang gak bisa dituruni dari atas karena benar-benar tinggi. Beberapa saat kemudian sampailah di batas vegetasi. Sedikit menanjak, terdapat bekas tempat antena dan solar sel untuk mengamati Merapi yang sudah rusak. Menanjak lagi sampailah di Pusunglondon. Dari Pusunglondon hanya menurun dan sampailah dipertemuan jalur Seloketika maghrib, Pasar Bubrah.
Gunung Batulawang dari batas vegetasi

Last Etape

Sebenarnya kami tidak mendaki ke puncak Merapi dan memutuskan turun melalui jalur Selo karena sudah malam, sudah capek, dan sudah ngomong kalau cuma mo dua hari, dan saya sudah pernah jadi nggak terlalu masalah :p dan bila mo balik lewat Deles lagi jalurnya ya gitchu dech :p. Dan ternyata pas mau ngambil motor, si ibu dah mau laporin ke SAR :p (maaf ya dah buat khawatir, habis jalurnya bener-bener !@#$%). Akan tetapi, karena ada barang saya yang jatuh pas turun, dan ada yang ngajak naik lagi, ya mari saja sekalian kalau-kalau barang yang jatuh bisa ditemukan (walaupun ndak ketemu). Anggotanya nambah 3 orang, mbak Z, mas R, dan mas A.

Etape terakhir adalah jalur menuju puncak, jalur yang ada berupa daerah pasir yang melorot kalau diinjak. Orang-orang pada umumnya melalui jalur agak sebelah timur, melewati pasir-pasir hingga ke daerah dengan wilayah berbatu yang dah mantap. Dari daerah berbatu sudah lumayan gampang, tinggal menanjak terserah mo lewat mana nanti akhirnya sampai di puncak seberang kawah yang sepertinya dulu masih dilokasi kawah mati. Di puncak terserah mo ngapain, mo poto-poto atau mau ke puncak tertinggi, atau mo terjun ke kawah ya terserah :p.
Kondisi Puncak Merapi

Ending

Dari semua jalur gunung yang pernah saya lalui, sepertinya jalur Merapi via Deles ini yang paling susah melebihi Sumbing, Lawu via Cetho, dan Semeru, alasannya yang paling ngehek adalah jalur yang tertutup ilalang dengan tanjaknnya yang yahud dan licin. Sebagai saran aja, kalau mo naik lewat sini lebih baik pas gak hujan dan lebih-lebih kalau dah rame yang pake rute ini (jalur bakalan kelihatan deh) dan bawa anggota yang pernah lewat sini (biar gak nyasar terutama di bawah) ditambah tutupi kulit buat ngindari duri (sarung tangan, kaos kaki, celana panjang, dll) :p.

Tambahan

Nemu dari inet, titik-titik di jalur Deles yang dilalui (kok dulu pas mau naik gak nemu ya)
1 Pajegan (Lewat)
2 Rong Tikus (Entah di mana)
3 Pos I (Kayaknya itu deh...)
4 Pos Bayangan (yang itu pa?)
5 Nisan Pohon makam ass. Bupati Boyolali 1965 (Entah)
6 Monumen Heri Ceper (Tempat nge-camp)
7 Pos II (Lewat dong)
8 Camp Yoyok (Mbuh)
9 Pos III (Ng....)
10 Watu Bulus (Mana lagi, katanya dulu ada kerangka pertapa yang ditemukan mati di sini)
11 G. Batu Lawang (Pasti lewat)
12 Pos IV (batas vegetasi)
13 G. Gajah Mungkur (sepertinya maksudnya Pusunglondon, kalo Gajahmungkur lewat Selo)

Colors: Perkembangan puncak tertinggi Merapi setelah letusan 2010 ketika saya sambangi
Greyscale: Puncak Garuda yang sudah patah

Senin, 29 Juli 2013

Tour de Jatim, Day III, Part II: Kalibaru - Alas Purwo



Ternyata perjalanan geje ke Jatim dah dilewati lebih dari dua tahun dan sambungan ceritanya gak juga diketik -____-;). Kalo mau baca sebelumnya mungkin dah lupa bisa baca di hari 1, hari 2, dan hari 3 bagian I. Oh dan karena harus memory mining, jadinya gak bisa detail ceritanya

Ok, cerita berlanjut dimulai dari habis sholat Jumat di masjid Kalibaru. Berdasarkan rencana, tujuan selanjutnya adalah pantai Pulau Merah di kecamatan Pasanggaran, dan seharusnya berbelok pas di Kecamatan Glenmore (tahunya beloknya di sini) malah keblabasan sampai Banyuwangi yang jaraknya sekitar 60 km dari Glenmore -__-;). Yah karena waktunya juga dah hampir sore, terpaksa langsung tancap gas ke Alas Purwo saja dengan tujuan utama G-Land / Plengkung.
Gerbang TN Alas Purwo
Rute Alas Purwo
Untuk ke Alas Purwo, dari Banyuwangi ambil jalur ke selatan (gampangnya kalau ada petunjuk ambil ke arah Jember), nanti bakalan lewat kecamatan Kabat sama Rogojampi. Di Rogojampi terdapat pertigaan (pertigaan banyak kali), pokoknya ambil ke Selatan atau lurus gampangnya sampai Srono yang nanti bakalan ada petunjuk arah ke Alas Purwo, yaitu belok ke kiri. Ambil jalan itu terus sampai Muncar, belok kanan dan nanti bakalan masuk kecamatan Tegaldlimo yang jalannya waktu itu aduhai (intinya ikuti petunjuk, kalau bingung tinggal tanya :p), ingat ini dua tahun lalu.

Singkatnya setelah sampai Kendalrejo, desa terakhir sebelum Alas Purwo, jalanan bakal menjadi full jalan tanah dengan kanan kiri hutan, kira-kira 20 km sampai masuk gerbang selamat datang. Habis itu bayar retribusi (dah lupa berapa) dan nunjukin KTP, selanjutnya terserah mau ke mana, ikuti saja petunjuk yang ada. Karena sudah sore ya saya langsung menuju tujuan utama, G-Land.
Rambu-rambu di Taman Nasional
Pantai Trianggulasi
Di jalan menuju G-Land, terdapat petunjuk jalan ke arah pantai Trianggulasi, ya karena dekat, mampir sebentar deh. Oh iya jalan di sini sudah aspal dan lumayan mulus.
Di pantai Trianggulasi ini sepi banget (cuma ada saya -___-;). Pasir pantainya putih dan banyak jejak kaki binatang. View-nya luas berupa pantai yang memanjang di teluk Grajagan dan tentunya laut dong. Di pantai ini juga ada bangunan yang sepertinya buat menginap, tapi sepi-sepi aja tuh.
Bangunan di pantai Trianggulasi
Pantai Pancur
Balik lagi ke jalan yang benar, skip skip sampailah di Pancur. Di Pancur ini lebih hidup dari pantai sebelumnya, ada masjid dan pos jaganya juga. Pas parkir motor buat sholat, langsung didatangi petugas, "Mau ke mana? Mau ke Gua? Oh Plengkung, kendaraan cuma sampai sini, jalannya rusak, kalau mau jalan 10 kilometer, nggak mau kan...", dan harapan saya ke Plengkung pun berakhir.... -__-;). Sebenarnya mau-mau aja, tapi kan saya harus lanjut ke tujuan selanjutnya, apalagi ini sudah sore, kalau di tengah jalan ketemu banteng pas gelap... belum di sana penginapannya mahal banjet walau sebenarnya saya bawa uang yang cukup (tapi ngapain). Walau beberapa waktu kemudian saya lihat motor penduduk yang lewat jalan ke arah Plengkung.

Sebenarnya untuk ke G-Land, kalau gak mau jalan bisa sewa mobil, tapi saya kan sendiri, pengunjung lain juga cuma di Pancur. habis itu saya memutuskan nggalau sampai matahari terbenam -___-;)

Berbeda dengan Trianggulasi, pasir pantai di sini lebih kehitaman, Kalau soal pemandangannya sih gak begitu beda, yang berbeda cuma terdapat sungai kecil  dengan batuan kapur di alirannya.

Ketika sedang galau, tiba-tiba datang hiburan berupa seekor rusa yang sedang main ke pantai mau menikmati matahari terbenam (halah). Dan setelah matahari tenggelam di balik awan, langsung sholat dulu dan lanjut balik ke Banyuwangi melewati jalan yang gelap dengan penerangan hanya dari lampu motor saya. Sebenarnya sempet deg-degan juga sih, karena sebelumnya baca di inet kalau pas lewat jalan sekitar situ malam hari ada seekor banteng yang rebahan, tapi untungnya tidak terjadi apa-apa.
Sungai di Pancur
End of Day
Tujuan berikutnya adalah menuju Kawah Ijen. Setelah sampai Banyuwangi saya cari petunjuk arah ke Kawah Ijen tapi gak nemu-nemu, setelah muter-muter akhirnya makan dulu di Ketapang setelah gak maem selain makanan ringan :p. Skip skip skip, akhirnya petunjuknya lihat juga, ternyata tu petunjuk jalannya ketutup sama pohon, wat wet wut menyusuri jalan sepi, akhirnya sampai di kecamatan Licin...
Seekor rusa yang sedang menikmati senja

Tsuzuku...

Telaga Warna - Cincin yang Jatuh, Selendang yang Luntur


Hehe tulisan males-malesan yang infonya dah buanyak banjet bertebaran di inet, makanya gak perlu dicritain bagus-bagus :p. Telaga Warna, bagi yang pernah ke Dieng pastilah tahu, secara ni tempat merupakan salah satu tujuan utama di Dieng selain Candi Arjuna dan Kawah Sikidang apalagi bagi yang one day trip.

Telaga Warna terletak di desa Dieng, kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, ato kalo secara astronomis pada -7.2119444444, 109.9169444444.
Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Get There
Info gak penting lagi. Sebenarnya kalau dah ke Dieng pasti nemu, saya kasih tau rute ke Dieng aja deh bagi yang gak tahu (tidak bisa ngomong semua orang tahu rute Dieng). Jalan paling enak ke Dieng ya lewat Wonosobo, yang dari Jogja bisa lewat Temanggung - Parakan - Kertek atau lewat Borobudur - Salaman - Sapuran - Kertek. Sampai Wonosobo tinggal cari alun-alun dan pokoknya ambil jalan ke utara, pasti sampai Dieng, tapi sayangnya nih jalur kalau longsor ya mobil gak bisa lewat.

Rute alternatifnya lewat Banjarnegara, tapi lebih jauh, lebih dari 60 KM (Tergantung asalnya dari mana juga kali), kalau dari Wonosobo cuma 30 KM. Dari Banjarnegara ambil jalur ke Karangkobar - Wanayasa - Batur - Dieng, atau kalau pengin lewat jalan jelek, dari Banjarnegara - Madukara - Pagentan - Pejawaran - Batur - Dieng. Kalau dari Semarang bisa lewat Temanggung atau lewat Kendal - Weleri - belok ke Sukorejo - Candiroto - Muntung (di sini ambil lurus terus jangan ikuti jalan besar, lebih cepet daripada muter lewat Parakan)- Sigedang - Tambi - Kejajar - Dieng. Dari Pekalongan ambil ke Petungkriono - Wanayasa - Batur -Dieng. Kalau dari Batang ambil jalur ke Blado - Batur - Dieng ato lewat Bawang juga bisa. Hm kurang dari mana lagi ya.... :p.
Angkot banyak kok, dari Wonosobo cari tujuan Dieng atau Batur lah.

Kalau dah sampai Dieng mau ke Telaga Warna nanti belok kiri, atau lihat petunjuk arah di jalan, nanti bakalan nemu loket retribusi yang hampir selalu tutup dan ada jalan masuk di sana yang gak resmi (belum pernah masuk lewat sana, kadang ada yang njaga kadang kagak) dan beberapa puluh meter kemudian barulah pintu masuk resminya. Pintu masuk lainnya bisa lewat Dieng Volcanic Theatre (kayaknya cuma bayar parkir, tapi bakal capek balik lagi), dan kalau mau gratis semuanya bisa lewat jalan peladang :p

Ada Apa Di Sana
  • Telaga Warna, Telaga Warna ni warnanya ijo dan perubahannya pun seputar ijo - biru, agak gelap, terang, atau gimana lah. Oh di suatu sisi ada tempat keluarnya gas, maklum, sebenarnya Telaga Warna ini kan danau kawah, dan di suatu sisi yang tersembunyi ada semacam getek (kayaknya gak digunain). Pas dekat keluarnya belerang hati-hati ya, nanti seperti saya, karena ada bagian yang jemek, dengan entengnya saya injak, walhasil, sandal saya nyangkut.
  • Telaga Pengilon, sebenarnya dulu masih nggabung sama Telaga Warna, hanya karena sedikit sekat, jadilah telaga lain, dan warnanya pun beda. Kalau mau ke sini, dari telaga warna cukup mutar saja, tapi kalau mau mutar kedua telaga ini satu putaran penuh, jalannya nanti ada yang agak becek, dan kalau salah ambil jalan, bisa seperti saya lagi, terperosok ke lumpur sandal nyangkut di kedalaman 60 cm -____-;)
  • Gua-Gua, ada banyak gua, Gua Semar, Pengantin, Sumur, dan Gua Jaran, tapi menurut saya gak begitu menarik karena lebih terlihat seperti cerukan dan sepertinya buat bertapa. Beberapa gua ada yang dipagari, saya juga gak tertarik masuk, tapi mungkin buat menghindari vandalisme. Lokasi gua-gua ini ada di antara kedua telaga (sekatnya).

    Di depan Gua Semar
    Retribusi
    Masuk Rp 6000/orang, parkir Rp 2000/motor, mobil kagak ngerti, tiket terusan Rp 20000/orang. Kalau mau gratis seperti yang saya bilang, lewat jalan peladang (gak perlu saya kasih tahu, kasihan pemdanya :p)

    Best Spot
    Menurut saya, daripada melihat ni telaga dari dekat, saya lebih senang melihatnya dari atas yang bisa melihat kedua telaga sekaligus. Kalau melihat lokasi sekitar telaga, telaga ini dikelilingi bukit-bukit, nah lihatnya ya dari sekitar bukit-bukit itu, tapi milih yang gak ketutup pohon ya, ato dari Igir Binem aja.
    Tempat keluarnya gas
    Ending
    Sebenarnya mo nampilin fotonya aja (cuma 3 biji -___-;), yang lainnya mah infonya dah bersliweran di mana-mana :p. Oh mengenai judulnya itu mengenai legenda warna di Telaga Warna, dan kok saya nemu legendanya lebih dari satu ya....

    Jumat, 19 Juli 2013

    Tugu Legetang - Menghilang dari Peta


    Apakah ada yang tau cerita tentang dukuh Legetang? Banyak kok ceritanya bertebaran di inet. Dukuh Legetang terletak di desa Pekasiran, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, masih berada di wilayah pegunungan Dieng – Petarangan. Secara astronomis terletak pada 7.19416667S, 109.8652778E. Legetang merupakan tragedi terbesar yang melanda daerah Dieng melebihi peristiwa gas beracun kawah Sinila yang lebih tersohor daripada peristiwa Legetang. Inti ceritanya adalah mengenai dukuh yang diazab dengan longsoran dari gunung dengan suatu keanehan di mana keadaan longsoran yang tidak masuk akal.

    Get There
    Jarak dari kompleks wisata Dieng (Arjuna, Sikidang, Warna) menuju tugu Legetang tidak begitu jauh, cuma beberapa kilo. Jalannya pun masih sejalur dengan jalur menuju Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, dan Sumur Jalatunda. Kalau pernah ke Dieng tapi gak sampai tiga tempat tersebut begini petunjuknya, dari Dieng (gampangnya gapura perbatasan Wonosobo - Banjarnegara) menuju ke arah Banjarnegara, Batur, Wanayasa, dll. Sedikit kilo kemudian bakalan nemu pertigaan berbentuk Y, ambil jalur yang menurun, yang kanan, kalau kiri bisa juga tapi mutar jauh (ke kiri jalur ke telaga Merdada), nanti bakalan lewatin telaga Sewiwi, pertigaan arah Kawah Sileri, lalu perkampungan desa Kepakisan.

    Setelah dari perkampungan, nanti di sebelah kanan bakal terlihat sungai, nah kalau sungai dah mulai terlihat coba lihat agak ke kanan atas ke arah gundukan bukit (bukan bukit yang jauh tapi yang dekat, dan jangan keterusan, lihat jalan juga :p), kalau cerah tugunya bakal kelihatan. Habis itu bakal lewatin jembatan sungai yang tadi, habis jembatan perhatikan ada jalan yang menuju ke atas di sebelah kanan, ambil jalan itu naik terus sampai lihat tugunya di sebelah kanan, tinggal parkir dan sedikit jalan. Oh iya sebenarnya jalan makadamnya cukup buat mobil (1 buah, kalau ketemuan berabe), tapi pas saya ke sana ada palang di jalur masuknya yang digembok, ya mungkin buat mobil cuma sampai bawah. Buat kendaraan umum gak ada ya yang lewat daerah situ, soalnya lewat jalur satunya.
    Tugu Legetang berlatar gunung Pengamunamun

    Ada Apa Sih Di Sana?
    Di sana cuma ada tugu tua di tengah-tengah ladang, gak ada yang lainnya, cuma bisa lihat pemandangan :p. Lumayan sih bisa lihat pemandangan gunung Nagasari (kalau cerah), atau gunung Pengamunamun dan gunung Jimat, atau celahnya yang misterius :p. Oh iya sebenarnya di tugu ini terdapat tulisan (kayaknya sih, lihat di foto kaya gitu), tapi pas saya ke sana sudah gak ada. Begini isinya:

    “Tugu peringatan atas tewasnja 332 orang penduduk dukuh Legetang serta 19 orang tamu dari lain-lain desa sebagai akibat longsornja gunung Pengamun-Amun pada tg.16/17-4-1955”

    Sebenarnya ada yang berbeda antara tulisan di tugu ini dengan monumen yang ada di pertigaan ke kawah Sileri, pada monumen tersebut jumlah korban meninggal 450 orang, beda sekitar 100 orang dengan yang ada di tugu, yang benar entahlah. Katanya sih warga dukuh yang selamat cuma 1 orang karena lagi gak di rumah, dan sekarang dah meninggal.

    Walaupun di bawahnya tekubur satu dusun dengan segala isinya termasuk penduduknya, namun saat ini bagian atas sudah berubah jadi ladang.
    Puncak Pengamunamun yang ikut longsor (katanya)

    Retribusi
    Gratiiiiiissss, lagian kan bukan tempat wisata :p

    Sedikit Investigasi :p
    Mungkin ada yang berpikir kalau cerita tersebut gak benar-benar terjadi atau mungkin dilebih-lebihkan dengan bumbu-bumbu yang bikin ngeri, kalau begitu baca sedikit uraian investigasi saya :p. Sebagai info, saya cuma mbandingin dengan peta tahun 1922 dan 1943 dengan keadaan saat ini dan peta dari BNPB yang berdasar dari peta RBI.


    Peta 1922
    Pertama, dukuh Legetang benar-benar ada di tempat di sekitar tugu tersebut. Di peta baik tahun 1922 dan 1943 terdapat daerah Legetang di lokasi yang ada di dekat tugu tersebut (agak ke utara).

    Kedua, terdapat sungai antara gunung Pengamunamun dengan dukuh Legetang sebelum terjadi longsoran yang terlihat pada peta. Perlu diingat, dalam keanehan yang ada adalah sungai tersebut tidak terkena dampak longsoran (logikanya sungai juga terkena longsoran kan) dan pas saya lihat saat ini memang ada sungai kok di sana, tapi emang gak besar, kalau gak percaya lihat aja di google earth :p. Saya bandingin dengan peta dari BNPB bentuk aliran sungai juga mirip.
    Peta BNPB
    Ketiga, tinggi gunung Pengamunamun pada peta 1922 dan 1943 adalah 2173 mdpl, sedangkan peta BNPB adalah 2175.71 mdpl. Jika melihat hasil ini dengan mempertimbangkan kesalahan pengukuran dan perbedaan peralatan karena zaman, maka dapat disimpulkan bahwa tinggi gunung Pengamunamun tidak terdapat banyak perubahan. Disebutkan bahwa di dekat tugu terdapat puncak gunung Pengamunamun yang ikut terbawa longsoran tetapi jika dilihat dari perbandingan tersebut, gundukan tersebut bukanlah puncak (tertinggi) gunung. Hal ini dapat membuat dua hipotesis baru, yang longsor bukan gunung Pengamunamun atau longsoran cuma dibagian lereng hingga tempat yang terlihat seperti puncak dari bawah walau bukan puncak tertinggi.

    Keempat, bentuk kontur. Sayangnya saya sulit buat mbandingin kontur peta lama dengan peta BNPB -___-;). Yang terlihat beda paling bentuk lekukan konturnya, peta dulu cukup detil meliuk-liuk khas gunung sedangkan peta BNPB tidak terlalu meliuk-liuk -___-;), cuma pas lihat dari google earth terdapat semacam cerukan di gunung pengamunamun yang tidak melambangkan kontur dari peta. Tapi mengingat daerah Dieng merupakan daerah dengan tingkat erosi tinggi jadinya entah itu cerukan kapan terjadi.
    Foto Udara Google Earth
    Investigasi selesai dengan kesimpulan terserah pada diri masing-masing :p. Yang pasti Legetang telah menghilang dari peta. Intinya jangan terlalu mempercayai apa yang saya utarakan karena saya juga belum lahir di zaman itu :p. Oh iya di dekat Legetang terdapat gua Djimat yang terkenal mematikan, tapi sebelah mana saya kurang tau, dan sering juga disebut lembah kematian yang sampai bisa mengawetkan mayat selama 2 tahun. Dan investigasi berakhir menggantung.....

    Dusun yang Hilang
    Selain Legetang, di sekitar Dieng ternyata banyak dusun yang saat ini sudah tidak ada entah apa yang terjadi padanya. Beberapa dusun yang dulu pernah ada antara lain Kapucukan, Timbang, Kepakisan Lor, Sidolok, Gajahmungkur, dan Pagerkandang. Telaga-telaga di Dieng pun beberapa sudah menghilang, mungkin mengering dan akhirnya jadi ladang penduduk tanpa kembali lagi seperti telaga lumut dan terus. Dia yang hilang dia yang terlupakan.....

    Kamis, 13 Juni 2013

    Candi Abang – Candi atau Bukit?


    Lagi kurang inspirasi dan sebenarnya agak malas ngepos, makanya kali ini ngetik tentang tempat yang dah sering dikunjungi orang :p. Kalau mencari di mesin pencari tentang candi Abang pasti dah banyak banget bertebaran infonya, makanya ini termasuk lagi malas ngepos -____-;)

    Get There
    Candi Abang terletak di dusun Blambangan, desa Jogotirto, kecamatan Berbah, Sleman. Secara astronomis berada pada 7.80127777S, 110.4686111E . Karena tidak berada di dekat jalan utama dan minimnya petunjuk, candi ini jarang dikunjungi orang yang berasal dari luar Jogja. Candi ini menjadi salah satu tujuan favorit para goweser apalagi pada minggu pagi. Sebenarnya ada banyak jalan untuk ke candi ini, saya jelaskan dua yang paling gampang dimengerti. 

    Jalan yang pertama bagi yang berasal dari arah Jogja. Dari Jogja tinggal menuju ke fly over Janti lalu ke arah selatan sampai perempatan lampu merah JEC (yang sebelah kirinya ada rumah sakit), lalu belok ke kiri pertigaan belok kanan, perempatan belok kiri, intinya jalan ke timur sampai selatannya kompleks Adi Sucipto. Terus ikuti jalan sampai tugu di pertigaan Berbah, terus pabrik, perempatan lurus, belak belok ikuti jalan, kuburan, jembatan, perempatan belok kanan ikuti jalan yang bagus, lalu ada tikungan dan lihat di depan ada sebuah bukit. Bukit di depan itu yang menjadi lokasi candi Abang. Masih lurus sampai sebelah kiri bener-bener dah terlihat bukit tersebut. Lihat ke kiri baik-baik kalau ada jalan cor-coran langsung belok ikuti jalan menanjak sampai lihat di sebelah kiri ada semacam jalan yang nggak banget, ikuti jalan tersebut dan sampailah ke Candi Abang.
    Candi atau Bukit?
    Jalan yang kedua bagi yang dari arah Prambanan. Dari Prambanan di lampu merah sebelum kali, ambil jalan ke kiri ke arah Ratu Boko / Piyungan. Ikuti jalan ke selatan, lewati rel, terus saja lewati bukit Boko, terus lurus terus sampai lihat petunjuk ke kanan ke arah Berbah di suatu perempatan (sepertinya ke kirinya gak ada petunjuknya karena jalan kecil). Nanti bakal nemu lapangan, terus belok kiri, lalu kanan dan di depan bakalnan nongol bukit. Lihat jalan cor-coran yang terlihat menanjak lalu ikuti seperti petunjuk sebelumnya. Demikian petunjuk sederhana njlimet dari saya -___-;)


    Untuk kendaraannya sendiri hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi, kendaraan umum tidak ada trayek lewat sini :p. Kendaraan umum paling arah Prambanan – Piyungan yang katanya sudah jarang lalu ditambah jalan kaki. Paling disaranin pakai roda dua, kalau roda empat nanti parkir di sekitar jalan cor-coran, kalau masuk jalan jeleknya mungkin bakalan susah, tapi kalau mau coba ya silakan (nggak tanggung jawab :p).

    Jalan jelek di sini berupa batuan kapur yang bercampur tanah. Jadi jika hujan tu tanah jadi lumpur dan jalannya jadi makin licin. Dan bentuk jalannya juga tidak rata, bakalan ada sedikit tanjakan-tanjakan kecil yang aduhai :p. Kendaraan yang ada bisa sampai persis di bawah candi tapi mungkin agak bersusah-susah, bahkan sepeda bisa sampai atas kok :p.

    Inti Cerita
    Bagi yang pertama kali lihat, baik langsung atau dari foto, tidak bakalan mengira kalau objek yang dilihat adalah sebuah candi. Candi Abang ini lebih mirip bukit daripada candi, hal ini dikarenakan candi tersebut sudah tertutup rumput. Mengapa diberi nama candi Abang? Hal tersebut dikarenakan candi ini tersusun dari bata merah tidak seperti candi-candi lainnya di sekitaran Jogja yang disusun dari batu Andesit. Menurut data yang saya baca dari dinas purbakala, candi ini dibangun sekitar abad 9 sampai dengan 10 Masehi. Candi ini merupakan candi Hindu, dikarenakan waktu ditemukan, ditemukan pula lambang dewa Syiwa.

    Candi ini lumayan asyik buat piknik apalagi pas rumputnya sedang terlihat hijau. Karena banyak rumputnya juga di tempat ini menjadi tempat penggembalaan kambing warga sekitar, jadi hati-hati melangkah karena banyak pup-nya :p. Ketika musim kemarau, rumput-rumputnya terlihat menguning dan makin cocok kalau disebut candi Abang. Dari atas candi bisa terlihat kota Jogja nun jauh di sana, bukit bintang, gunung Merapi, gunung Nglanggeran, dll. Mau lihat sunset juga bisa, tapi hati-hati baliknya, jalannya gelap. Nah jika melihat bentuk ni candi, di atasnya bakalan terlihat cekungan, tu cekungan sebenarnya adalah bekas pengrusakan, hal ini dikarenakan di dalam candi ini diperkirakan tersimpan harta, dirusak deh oleh orang yang pengin untung sendiri.

    Jika mampir ke candi Abang, bisa sekalian mampir ke Gua Sentono yang ada di dekat jalan masuk ke jalan cor-coran, karena semua ini GRATIS!!! FREE!! FREE! FREE.... -____-;)
    Abang atau Ijo?
    Demikian tulisan gak niat saya, uh kok jadi lumayan panjang ya, padahal inti ceritanya seiprit -_____-;)

    Kamis, 06 Juni 2013

    Museum Trinil – Trinil Menantang Dunia (Nasibmu Kini)

    Trinil, merupakan suatu kawasan yang sudah terkenal di dunia perfosilan dunia. Di Indonesia pun nama ini selalu muncul di suatu bab pada pelajaran sejarah. Trinil sendiri merupakan suatu nama daerah yang mencakup tiga desa, Kawu, Ngancar, dan Gemarang.

    Sudah lama saya ingin menginjakkan kaki di Trinil. Rencana pertama gagal karena tidak melihat petunjuk arah ke lokasi dan sudah mengantuk setelah nggeje di Madiun. Rencana kedua juga gagal karena sudah siang dan lebih memilih Sedudo di Nganjuk sebagai tujuan. Beberapa kali setelah itu juga gagal dengan berbagai alasan -____-;). Namun akhirnya kesampaian juga ke museum Trinil setelah malam sebelumnya tidur di SPBU Tunjungan dan mampir di monumen Soerjo serta benteng Van Den Bosch buat nunggu waktu museum buka.
    Gading di depan museum
    Get There
    Museum Trinil terletak di dusun Pilang, desa Kawu, Kedunggalar, Ngawi. Secara astronomi terletak pada 7.37444444S, 111.35805556E. Untuk menuju ke lokasi sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari arah Jateng tinggal ikuti jalan raya menuju Ngawi melewati monumen Soerjo lanjut terus hingga lihat SPBU di kanan jalan, ciri-ciri SPBU-nya musholanya lumayan besar dan letaknya di belakang membentuk bangunan sendiri (mana kelihatan dong :p). Dari sana masih dilanjutkan lagi tapi sambil perhatikan jalan dan petunjuk. Intinya adalah belok ke jalan aspal pertama yang mengarah ke utara dari sana. Kemudian ikuti tu jalan hingga museum. Kalau dari Ngawi tinggal ke arah Jateng beberapa km, 15 km an gitu kalo gak salah (duh lupa). Kalau mo naik angkot juga gampang, banyak bis juga, tapi daerah tempat turunnya gak tahu namanya, nanti lanjut naik ojek atau jalan kaki 3 km :p.

    Cerita Dimulai
    Museum Trinil dibangun pada 20 November 1991, cikal bakalnya diprakarsai oleh Wirodihardjo yang menyimpan temuan fosil di rumahnya. Wirodihardjo juga dikenal sebagai Wirosablengbalung. Sebelum masuk kawasan, kita mengisi buku tamu dulu dan bayar retribusi (berapa ribu gitu). Ketika saya lihat buku tamu, yang berkunjung sebagian besar malah warga Kawu -___-;). Dari luar akan langsung tampak pendopo yang pada waktu saya berkunjung sedang digunakan oleh anak SMP latihan alat musik dengan lagu Yamko Rambe Yamko.

    Patung replika gajah
    Pertama lihat di halaman museum, yang menarik perhatian adalah patung gajah, yang ternyata replika dari Mastodon atau Stegodon ya... duh lupa, yang berdasarkan penemuan gadingnya. Di halaman museum juga ada tugu yang menarik yang lokasinya di bagian belakang dekat Bengawan Solo. Tugu tersebut merupakan tugu peninggalan Belanda yang berisi petunjuk tempat lokasi ditemukannya Pithecantrophus erectus, yang terletak 175 meter dari tugu tersebut pada tahun 1893 hingga 1895. 
    Tugu peninggalan Belanda
    Di depan gedung museum terdapat dua replika gading gajah yang membentuk gerbang yang mirip dengan yang ada di Sangiran. Memasuki museum suasana yang ada terasa suram, ruang diorama cuma sebuah dan dengan pencahayaan seadanya. Hampir semua tulisan-tulisan keterangan yang ada terlihat sudah memudar dan tua. Waktu itu yang ada di museum cuma saya dan bapak penjaga, beberapa saat kemudian ada sekeluarga yang hanya foto-foto dan langsung keluar dan bapak penjaga juga keluar -___-;). Koleksi-koleksi di sini terkesan sedikit, yang paling menarik perhatian paling gading gajah dan diorama Pithecantrophus erectus, padahal bapak penjaga ngomong kalau masih sering ditemukan fosil terutama musim kemarau waktu debit Bengawan Solo sedikit. Ternyata temuan-temuan tersebut teronggok di gudang -___-;).

    Jika melihat miniatur kompleks, seharusnya terdapat tempat cinderamata, tapi ya gak ada yang jualan juga. Sebenarnya yang paling saya inginkan adalah melihat fosil Pithecantrophus erectus yang menjadi ikon Trinil, eh ternyata yang ada hanya replika dan aslinya ada di Belanda. Jika dibandingkan dengan Sangiran, museum ini rasanya tidak ada apa-apanya. Museum Sangiran yang sekarang sudah sangat WoW sejak saya pertama berkunjung dengan segala pembenahannya dan Museum Trinil yang sepertinya tidak pernah berubah sejak pertama dibangun dengan kesan suramnya, sepertinya juga mempengaruhi jumlah pengunjung yang ada dan terlihat mencolok di antara keduanya. Mungkin hal ini juga dipengaruhi status Sangiran sebagai World Heritage juga.
    Diorama P.e
    Trinil sebagai tempat ditemukannya P.e sebagai klaim para penganut teori Evolusi mengenai missing link yang diangkat namanya oleh Eugene Dubois sebagai sang penemu fosil dan muncul di buku-buku sejarah, oh nasibmu kini.....

    Selasa, 21 Mei 2013

    Special Index


    Waterval

    Seashore

    Musée

    Hora

    Grot

    Tempio

    Loss

    Fort


    Monumen

    Danau

    温泉

    Kerk

    ???