Jumat, 19 Agustus 2011

Tour de Jatim, Day III, Part I: Papuma – Kalibaru


Hari ini diawali dengan kedinginan di surau. Melihat jam dan ternyata masih jam tiga pagi, langsung saja kuambil sb agar tidak kedinginan. Rencananya perjalanan dilanjutkan waktu subuh tiba dan alarm pun sudah diset pada jam setengah lima. Ternyata adzan subuh sudah berkumandang jam 4 pagi di Jember, langsung saja aku beres-beres merapikan barang. Karena masih disekitar sawah dan gelap, arah perjalanan pun hanya terus dilanjutkan saja ke timur hingga akhirnya menemukan perkampungan dan sampai di jalan besar. Di jalan besar ini aku hanya bolak-balik memastikan apakah jalannya benar atau salah. Ternyata jalan yang diambil adalah jalan yang benar. Di jalan kulihat di depan saja berkabut, pantas saja malamnya terasa dingin, secara dipikaranku sudah terpatri kalau dataran rendah itu panas :p.

Akhirnya sampai juga di pertigaan yang ada petunjuk arah ke pantai Papuma. Akan tetapi ketika berbelok jalannya ditutup palang. Karena kebingungan jalan ditutup, akhirnya mencari info di internet dan mendapat pencerahan apabila untuk menuju Papuma bisa masuk melalui Pantai Watu Ulo. Perjalanan dilanjutkan ke selatan dan akhirnya sampai ke Watu Ulo dan dilanjutkan ke Papuma.
Papuma
Pantai Watu Ulo merupakan pantai yang berada di sebelah timur pantai Papuma dan mempunyai pasir warna hitam. Sepertinya jalan yang tadi menunjuk ke Papuma adalah jalan langsung agar pengunjung tidak membayar retribusi dua kali untuk masuk ke Watu Ulo dan ke Papuma, tapi tentu saja karena masih pagi aku tidak membayar keduanya :D. Dari pos retribusi Papuma, jalan selanjutnya berupa jalan menanjak menaiki bukit dan nantinya turun ke pantai. Ketika menurun akan terlihat pemandangan pantai Papuma yang berada di sebelah timur.

Papuma terletak di kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Kabupaten Jember. Papuma merupakan akronim dari Pasir Putih Malikan. Walau pantai di sebelahnya yaitu Watu Ulo berpasir hitam, namun Pantai Papuma ini berpasir putih. Papuma merupakan pantai yang berupa tanjung. Pantainya terletak di sebelah barat dan timur tanjung ini. Ketika sampai di area pantai sebelah timur, aku langsung saja ikutan parkir di dekat pantai mengikuti pengunjung lain. Saat itu kapal-kapal nelayan sedang berlabuh setelah menangkap ikan. Pagi itu pantai tersebut sudah ramai, bahkan ada banyak fotografer berdatangan. Membandingkan kamera orang-orang itu yang DSLR yang kadang dilengkapi perangkat tambahan dengan kameraku yang ya begitulah membuat agak sirik, apalagi waktu itu juga ada anak kecil yang menggunakan DSLR XD.

Kapal-kapal nelayan di sana cukup unik. Dibandingkan kapal-kapal di daerah DIY yang cuma berbentuk trapesium saja, kapal di daerah tersebut mempunyai hiasan-hiasan yang indah dengan bagian haluan lebih mengangkat daripada bagian buritan. Karena ingin mencari tempat yang cukup sepi, membuatku pergi menyusuri pantai hingga naik ke ujung tanjung yang di atasnya terdapat gardu pandang. Dari gardu pandang tersebut bisa dilihat pantai sebelah barat dan timur tanjung, bahkan sepertinya tempat ini cocok sekali untuk melihat matahari terbit dan terbenam yang jarang dimiliki pantai lain di selatan Jawa.
Kapal nelayan saat matahari terbit
Di lokasi ini karena masih ngantuk aku berniat untuk tidur, tapi karena mudah untuk didatangi orang, jadi mencari tempat disemak-semak sambil melihat laut untuk tidur. Di sini juga aku memakan buah yang dikasih di Kediri J. Beberapa saat kemudian setelah bangun, kulanjutkan menyusuri pantai yang sebelah barat. Pantai di sebelah barat lebih sepi daripada di sebelah timur, di pantai ini juga tidak ada kapal nelayan karena lebih banyak karangnya. Di pantai ini kadang terlihat monyet yang menikmati sampah yang dibuang manusia. Untungnya monyet-monyet ini masih penakut dan kebutuhan perutnya masih terjamin (Biasanya kalau hewan kelaparan sudah hilang rasa takutnya). Batu-batu karang karang di sini cukup bagus, karena batu-batunya besar-besar dan mungkin sudah bisa disebut pulau. Dari jogja samapai tempat ini ternyata sudah melebihi 500 km. 
Pulau Kajang
Di tempat ini terjadi kebodohan, kamera dengan lensa masih terbuka kuletakkan di dekat pasir, dan tiba-tiba kamera tersebut jatuh. Pasir yang masih semi basah itu penuh menutupi lensa kameraku dan menempel, tidaaaaaaaaak. Dengan hati-hati kubersihkan lensa dari pasir, tapi tetap saja ada pasir yang masuk ke balik lensa dan menempel di sana. Setelah perjuangan penuh keputus asaan hingga menggepuk-gepuk kamera, akhirnya pasir-pasir tersebut berhasil dibersihkan walau masih ada sedikit di bagian yang sulit. Karena matahari sudah cukup naik, akhirnya aku kembali ke tempat parkir. Melihat air laut yang cukup tenang membuatku ingin bermain air, tapi sayangnya tidak ada orang lain yang melakukannya jadi tidak bisa ikut-ikutan. Ketika akan keluar dengan motor, ternyata jalan yang tadi dimasuki sudah dihalang-halangi bambu, terpaksa susah payah melewatkan motor melalui parit.

Jalan keluar dari pantai ini sama seperti jalan masuknya, tapi nanti melewati jalan yang ketika pagi ditutup. Di jalan ini terlihat pemandangan yang cukup aneh. Di sepanjang jalan ditanami pohon jati baik di kiri ataupun di kanan jalan. Namun anehnya pohon jati sebelah kiri berdaun hijau, sedangkan sebelah kanan sudah meranggas terpisahkan oleh jalan, tentunya hal ini tidak terjadi di semua titik. Karena tidak membayar, jadi saya tidak tahu biaya retribusi ke pantai ini, bayar parkir pun tidak (mungkin standar tempat wisata). Perjalanan dilanjutkan ke arah Ambulu dan dilanjutkan ke arah Jember. Sepertinya jalan dari sini lebih mudah untuk mencapai pantai Papuma dan mungkin sudah ada petunjuk jelas, tidak seperti melewati sawah (-_-;). Saya sama sekali tidak melewati kota Jember karena langsung pakai jalan sidatan ke Banyuwangi. Padahal dua minggu setelah dari sini diadakan Jember Fashion Carnival yang kelihatannya lebih megah dari Solo Batik Carnival (padahal tidak nonton waktu ke Solo), karena pakaiannya lebih berjumbai-jumbai.
Pohon Jati
Jalan Jember – Banyuwangi awalnya biasa-biasa saja, tapi akhirnya kita akan melalui jalan menanjak berkelak-kelok dengan pinggiran hutan yang untungnya jalannya lebar. Sayangnya di jalan ini banyak pengemis yang meminta-minta seperti di daerah Alas Roban dan jalan Buntu – Banyumas. Yang meminta-minta sih kebanyakan yang wanita dengan membawa anaknya dan yang sudah tua. Kalau ngemis berjamaah gini melihatnya saja sudah memprihatinkan, padahal daerah lain yang masih sama pulaunya aja (ex: Gunungkidul) banyak wanita bahkan yang sudah tua berjalan jauh dengan membawa kayu kok malah di sini pada minta-minta, apa karena jalan tersebut jalan utama yang ramai kendaraan sehingga meminta-minta lebih menguntungkan daripada mengangkut kayu bakar? (maaf aku tidak berada di posisi mereka)

Di jalan ini juga pertama kalinya aku melihat terowongan kereta api walau cuma dari atas. Sepertinya itu adalah terowongan kereta satu-satunya di pulau Jawa (kalau ada yang lain tolong kasih tahu).  Di jalanan turun itu juga ada restaurant yang bernuansa kopi, tapi sepertinya agak mahal :p. Setelah turun, tempat pertama yang akan dilalui adalah Kalibaru. Di Kalibaru ini aku berhenti sejenak untuk melaksanakan sholat Jumat. Karena Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten paling timur WIB makanya khotbah sholat Jumat sudah dimulai jam setengah dua belas dan berakhir jam dua belas siang.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan bertanya sepuasnya, apabila ingin tahu lebih jauh silakan PM saya