Rabu, 24 November 2010

Kraton Ratu Boko

Kraton Ratu Boko merupakan suatu situs yang terletak di perbukitan Boko yang berada di dua desa, Desa Sambirejo dan Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, DIY. Situs ini merupakan situs yang bercorak Hinduisme dan Buddhisme yang dibangun sekitar abad 8 - 9 masehi. Untuk memasuki situs ini, ada dua jalur resmi (berbayar) yaitu lewat atas dan lewat bawah. Jalan bawah adalah pintu masuk untuk parkir bis yang nantinya harus dilanjutkan berjalan melewati tangga ke atas. Sedangkan jalur atas untuk sepeda motor dan mobil yang melewati jalan yang cukup sempit. Biaya untuk masuk ke situs ini adalah Rp 10000 / orang dan Rp 2000 / motor (untuk mobil kurang tahu). Sebenarnya tertulis biaya tambahan untuk kamera dan handycam (Rp 5000 dan Rp 8000 kalau gak salah) tapi kalau disembunyikan penjaganya juga gak tahu.

Setelah beberapa saat masuk, maka akan melihat taman rusa yang isinya hanya beberapa ekor rusa, namun hewan utama di situs ini bukanlah rusa melainkan kambing. Di berbagai sudut kita akan melihat kambing berkeliaran mencari rumput. Warga sekitar memberi makan kambingnya di situs ini dan hasilnya kotoran kambing di mana-mana. Sempat saya pergi ke situs ini beberapa hari setelah Idul Adha membuat saya ingin menyata kambing-kambing itu (hehe).
Gerbang Utama
Menurut peta yang diberikan, seharusnya tempat pertama yang dilihat adalah candi batu putih, tapi tidak terlihat bangunan candi di lokasi yang ditunjuk di peta, hanya tumpukan batu  yang tidak terlihat menyerupai candi atau sisa bangunan yang warnanya ... hitam (doh). Sebenarnya terdapat tumpukan batu yang membentuk plataran suatu candi, namun lokasinya tidak berada di lokasi yang ditunjuk peta dan batunya juga tidak putih. Lokasi selanjutnya adalah pintu gerbang utama. Terdapat dua buah gerbang  yang letaknya berkelanjutan. Gerbang ini yang biasanya menjadi icon utama dari Ratu Boko.

Di dekat gerbang, kita bisa melihat candi pembakaran. Candi ini di tengahnya terdapat lubang yang pada saat ditemukan terdapat abu di dalamnya. Ternyata abu tersebut merupakan abu dari pembakaran kayu (dari papan  di dekatnya tertulis demikian) tapi di buku petunjuknya ditulis tempat pembakaran mayat (doh). Di dekatnya (sebelah tenggara), terdapat sumur yang katanya airnya mengandung tuah (-_-;). Sumur ini dinamakan Amerta Mantena yang berarti air mantra (buat mbah dukun nyembur kali... :p).

Dari candi pembakaran kita bisa naik ke atas menuju kirana pandang (tulisan di papan petunjuknya bilang begitu). Di atas terdapat arca Durga dan merupakan satu-satunya arca yang ada di kompleks Ratu Boko ini. Dari atas kita bisa melihat candi Prambanan dari kejauhan dan juga gunung Merapi di belakangnya (kalau cerah)  dan sebenarnya kita bisa melihat kedua tempat ini dari plaza Andrawina (letaknya di bawah di dekat tempat parkir atas).
Gua
 Dari atas kiara pandang, kita harus turun lagi (balik) menuju alun-alun. Berbeda dengan alun-alun yang biasanya kita lihat di kota-kota. Alun-alun di sini tidak berada di dekat masjid Agung dan Kantor Pemerintahan (hehe). Di alun-alun ini kita harus hati-hati karena bertebaran kotoran kambing yang tersembunyi di balik rumput. Di dekat alun-alun terdapat Batur Paseban. Paseban adalah ruang tunggu bagi tamu yang ingin menemui raja. Tapi fungsi dari Batur Paseban sendiri sebenarnya tidak diketahui (kok dinamakan paseban ya?).

Bagian lain dari Ratu Boko adalah goa. Walaupun disebut goa sebenarnya bisa dikatakan cuma lubang kecil saja. Di sekitar goa ini terdapat pintu masuk lain yang sepertinya tidak berbayar. Waktu ke sana terdapat sepeda motor yang masuk dari sisi ini. Di jalan yang dekat masuk terdapat tulisan dilarang masuk karena telah memasuki situs. Sebenarnya di situs Ratu Boko terdapat rumah-rumah yang masuk kompleks ini dan tetap dibiarkan. Terdapat beberapa pintu masuk tak resmi lainnya, seperti yang berada di dekat musholla di situs ini.

Terdapat banyak kolam di kompleks Ratu Boko ini. Sebuah kolam terletak di dekat candi pembakaran dan banyak kolam terdapat di dekat pendopo. Kolam-kolamnya berisi ikan, kecebong, ganggang, serangga, dan lain-lain. Sayangnya ikan-ikannya kecil-kecil.

Yang cukup lucu adalah adanya miniatur candi. Jadi bukan candi betulan yang benar-benar ada dan sempurna bentuknya (candi pembakaran cuma terlihat bawahnya saja), melainkan berupa miniatur dengan ukuran sekitar 1,5 meter. Dan tentunya tidak bisa kita masuki (kecuali beberapa bagian tubuh).
Miniatur Candi

Jumat, 12 November 2010

Jalan-Jalan Geje - Part III: Madiun

Setelah melewati gunung-gunung, akhirnya sampai di kabupaten Ponorogo. Karena sudah malam dan bensin sudah menipis, akhirnya tujuan utama adalah mencari pom bensin. Di jalan sempat terlihat masjid yang cukup besar yang ternyata adalah bagian dari pondok Gontor (Baru tahu kalau pondok Gontor banyak cabangnya). Sesampainya di Ponorogo (saat itu ada beberapa titik yang banjir), ada niatan untuk bermalam di kota ini sambil melihat-lihat kota Ponorogo. Namun saya yang ingin melanjutkan perjalanan tetap melanjutkan perjalanan yang ada (hak sopir :p) menuju kota Madiun.

Madiun Square
Ternyata Ponorogo ke Madiun tidak terlalu lama, padahal di peta terlihat cukup jauh (mungkin efek jalan lurus yang datar). Perjalanan Ponorogo - Madiun tidak ada yang menarik karena sudah malam. Sesampainya di Madiun tentu saja mencari makan terlebih dahulu. Diputuskan untuk mencari makan di alon-alon dan segera mencarinya. Ketika di persimpangan alon-alon saya malah melalui jalur yang salah dan harus mencari jalan memutar. Selain memutar, saya sekaligus mencari warnet yang nantinya akan dipakai untuk tempat menginap (malas nginap di hotel) yang menjadi alternatif terbaik untuk orang bokek dan masih punya malu (alternatif lainnya masjid, stasiun, rumah sakit). Setelah menemukan satu langsung menuju ke alon-alon. Di jalan yang dilewati terlihat tulisan Madiun kota Gadis (perdagangan dan industri maksudnya).

Alon-alon kota Madiun cukup ramai dengan orang, baik yang pacaran, cari makan, ngobrol gak jelas, dll. Setelah makan, langsung dihabiskan dengan nongkrong gak jelas di suatu sudut yang di sana sedang ada bapak-bapak dan ibu-ibu ngrumpi (ngomongnya cukup serius karena ada yang ngomong duit 5M). Karena sudah cukup larut, maka dilanjutkan menuju warnet yang diincar. namun setelah dilalui, kok merasa warnetnya gak ada ya dan harus mengambil jalan memutar. Usut punya usut, ternyata warnetnya sudah tutup (doh) sehingga harus mencari tujuan lain. Di jalan dekat stasiun, akhirnya menemukan sebuah warnet dengan tanda 24 jam. Warnetnya berdiri di bangunan tua dengan gaya khas bangunan Cina tempo dulu.
Tempat Pijat Refleksi
Niatnya sih ngenet dan nantinya ditinggal tidur, tapi ternyata kursinya kurang nyaman buat tidur dan beberapa jam pertama orang-orangnya pada ribut teriak-teriak main CS. Ketika waktu menunjukkan jam setengah tiga pagi dan saya masih berusaha untuk tidur, sudah tidak ada orang lain yang ngenet dan warnetnya terdengar mau ditutup. Karena merasa diusir secara halus, maka saya melanjutkan perjalanan ke stasiun yang tidak jauh dari sana. Ternyata di stasiunnya tidak ada kursi tempat nunggu sehingga harus berusaha tidur di lantai. Ketika sudah hampir bisa tidur, teman saya membangunkan saya karena sudah jam 4 dan sudah waktunya untuk sholat Subuh. Ketika melintas di depan warnet, ternyata warnetnya sudah tutup, 24 jam apanya.

Langsung saja saya menuju masjid di dekat alon-alon yang sedang dibangun untuk sholat. Niatnya setelah sholat saya jalan-jalan sebentar sampai cukup terang supaya lampunya dimatiin dulu, tapi sayangnya teman saya tidak mau karena kecapekan, terpaksa saya ngikut. Beberapa saat kemudian ada takmir yang mematikan lampu, saya yang merasa tidak enak langsung bangun dan keluar.
Madiun di pagi hari
Motor ditinggal di masjid saya berjalan-jalan di alon-alon sambil melihat-lihat warga yang berolahraga. Alon-alon Madiun ternyata cukup menarik, di dua sisinya terdapat peta kota Madiun di suatu sisi juga terdapat toilet umum yang dapat ditarik mobil (seperti gandengan truk tapi memiliki roda). Di alon-alon juga terdapat jalur lari-lari atau jalan-jalan yang dibuat berputar-putar. Yang paling menarik adalah adanya jalur pijat refleksi yang disusun dari batu-batu penghias aquarium dan panjang lintasan lebih dari seratus meter. Saya mencoba berjalan di sana dan merasa kesakitan karena terdapat batu-batu yang diberdirikan (bukan ditidurkan). Di tengah jalan baru 'ngeh' kalau yang memakai tempat tersebut kebanyakan orang tua yang sepertinya sarafnya sudah kurang peka. Saya yang masih muda belum ada setengah jalan aja sudah hampir menyerah karena merasa kesakitan, tapi karena ada orang tua yang berjalan dengan entengnya (jalan biasa) yang sepertinya tidak merasa kesakitan membuat saya semangat untuk merampungkannya (apalagi sandal ditinggal di ujung jalur yang ada).

Setelah cukup puas berjalan-jalan, langsung mencari makan. Niatnya mau beli pecel Madiun, tapi kok yang jualan sudah menghilang ketika ingin dibeli, terpaksa beli soto babat. Harga satu porsi soto Rp 4000, tempe Rp 500, dan teh anget Rp 500, cukup untuk mengisi perut saya (walau porsi segitu sebenarnya masih jauh dari cukup). Setelah makan, tujuan selanjutnya adalah masjid, apalagi kalau bukan buat tidur, hehe. Akhirnya di masjid ini saya bisa tidur walau cuma satu jam karena teman saya merengek ingin segera cabut, saya sebenarnya ogah-ogahan, tapi ya mau gimana.

Soto Babat
Setelah dari Madiun tujuan berikutnya adalah Trinil di Ngawi, tapi setelah menempuh sepanjang perjalanan kok tidak ada petunjuk satupun dan tiba-tiba sudah sampai perbatasan Jawa Tengah. Padahal jalan raya Ngawi tersebut hanya mempunyai sedikit persimpangan, bisa-bisanya tidak ketemu. Karena malas untuk balik, terpaksa langsung dilanjutkan ke Yogya tanpa berhenti (kecuali di Pom Bensin Sukoharjo). Perjalanan Madiun-Yogyakarta ditempuh dalam waktu 4 jam dengan teman membonceng yang mengantuk, dan perjalanan pun berakhir karena sesampainya di Yogya saya langsung tepar (efek kurang tidur).

~ end ~

Jalan-Jalan Geje - Part II: Pacitan

Perjalanan menuju kota Pacitan tentunya berada di luar rencana. Setelah melihat jalan tembus dari pantai Srau ke pantai utama, ternyata untuk menuju ke pantai ini (juga pantai Watu Karung) lebih baik menggunakan jalan utama (bukan jalan dari pantai Klayar) karena jalannya lebih enak. Sepanjang perjalanan, yang dicari adalah.... tanda menjaga kebersihan tentang larangan buang BAB sembarangan yang unik. Soalnya ketika berangkat menemukan tanda yang memakai kata-kata berbahasa Inggris. Ternyata tanda tersebut semakin sulit ditemukan ketika menuju ke kota Pacitan.

Jika terus melewati jalan, maka nantinya akan tembus ke teluk Pacitan, sayangnya tidak ada spot yang cukup bagus untuk mengambil gambarnya dari atas. Setelah sampai di bawah saya langsung merasa bahwa telah keluar dari pegunungan Sewu yang didominasi oleh karst. Yang pertama kali dicari adalah alon-alon. Ketika berhenti di suatu traffic light, tiba-tiba ada yang tanya, dan ternyata adalah seorang bule. Dia bertanya "Where's the center". Karena kaget tiba-tiba ditanya bule, tanpa menyiapkan logat langsung menjawab "I dunno", dengan logat Jawa yang sangat kentara terdengar. "I never came here before." Sepertinya dia adalah bule yang ada di pantai Srau, namun kali ini yang mengendarai adalah bule cewek (yang tanya cowok). Ketika lampu hijau, bule ceweknya terlihat sulit menjalankan motornya, sepertinya giginya masih normal (doh).

Sesampainya di alon-alon ya cuma lewat saja, enath mau ngapain. Waktu menunjukkan jam 4, tapi sepertinya kota ini sudah sepi banget. Ketika berada di lampu merah yang bila ke kiri ke Ponorogo, kanan ke Solo, dan lurus ke Trenggalek, saya menanyakan arah ke teman saya, "Mau belok mana?" Ternyata teman saya menunjuk ke arah Ponorogo. Ya sudahlah pikir-pikir mau melihat jalan walau saya tahu kalau nantinya jaraknya akan jauh banget.
Kota 1001 Goa
Awal perjalanan ke Ponorogo jalannya di sana-sini sedang ada perbaikan dan yang saya lihat di depan adalah gunung-gunung. Setelah beberapa kilometer, saya melihat sungai yang mengalir di antara bukit-bukit. Sungai tersebut terlihat mengalir membelah bukit-bukit yang ada. Dan saya berpikir jangan-jangan jalannya akan berada di pinggir sungai tersebut. Benar saja, ternyata jalan yang harus saya lalui adalah jalan di pinggir bukit yang digerus dengan sebelahnya berupa sungai yang meliuk-liuk (jalannya juga). Jalan yang ada pun kebanyakan rusak. Sungai tersebut nantinya bermuara di teluk Pacitan (gak tahu nama sungainya, malas cari tahu).

Di suatu titik (sepertinya di Kecamatan Arjosari) terdapat bagian jalan yang hampir semuanya terendam air (saat itu hujan) hanya sedikit bagian yang dekat bukit yang tidak terendam. Di depan terdapat mobil yang melaju tapi menghindari genangan yang ada (saya masih berada beberapa meter dari genangan). Ketika saya berada di daerah genangan, tiba-tiba muncul truk yang cukup kencang yang juga akhirnya juga melaju di bagian kanan (bagian jalur saya). Hasilnya sekujur tubuh saya terkena cipratan (sial, ada yang masuk ke dalam lagi).
Salah satu pesan tentang Kebersihan
Beberapa kilometer dari titik tersebut, ketika saya melaju terlihat orang-orang melihat ke atas yang ternyata ada guguran tanah dan batu (awalnya berpikir ada orang yang nglemparin batu dari atas). Beberapa meter kemudian terlihat bongkahan batu yang menutupi jalan (sebelumnya tidak terlihat karena terhalang-halangi bukit tersebut). Saya lalu melaju di sebelah kanan dan orang-orang yang menonton berteriak (gak begitu terdengar) dan membuat saya berhenti. Ketika saya berhenti teman saya langsung turun dan berlari, saya yang tadinya tenang-tenang saja langsung panik gara-gara melihat teman saya lari.  Motor langsung saya putar tanpa memundurkannya walau sudah mepet banget dengan pinggir jalan (sudah masuk jalan tanah). Ternyata kalau hujan memang sering terdapat guguran di lokasi tersebut.
Sungai yang menemani sepanjang jalan
Jika melaju di jalan raya Pacitan-Ponorogo ketika hujan, maka akan terlihat air terjun kecil yang mengalir (tidak terlalu bagus). Beberapa kilometer dari lokasi guguran, akan ada jalan yang benar-benar sempit yang sepertinya hanya muat untuk sebuah mobil (di kiri tebing, di kanan sungai). Saya sempat berpikir kalau malam hari bagaimana bis bisa lewat ya kalau tidak ada yang ngatur, siapa yang harus mengalah. Setelah itu di lokasi lain terdapat tambang-tambang pasir (atau apa?) yang warnanya tetap putih walau terkena hujan (???) yang sialnya pasir-pasir tersebut diletakkan di pinggir jalan (bahaya banget, bisa buat kepeleset kendaraan). Ketika sampai Slahung (Kabupaten Ponorogo), saya bersyukur karena telah melewati jalan tersebut.

Melewati jalan Pacitan-Ponorogo benar-benar bikin malas. Kalau tidak terpaksa saya tidak akan melewati jalan tersebut lagi apalagi kalau hujan.



Jalan-Jalan Geje - Part I: Pantai Srau

Niat awalnya adalah pergi ke pantai Srau dan pantai Klayar yang ada di kabupaten Pacitan. Jalan ke pantai Srau yang dilalui adalah dari Yogyakarta -Gunung Kidul - Wonogiri - Pacitan. Jalan pegunungan Sewu sudah sering kulalui, jadi tidak ada masalah atau keterkejutan. Sesampainya di Giri Belah (Kabupaten Wonogiri), saya mengambil arah selatan melalui Paranggupito. Jika menuju pantai Klayar, arah ini lebih dekat daripada melalui Pacitan (lupa nama daerahnya) langsung. Tujuan pertama saya adalah pantai Srau dulu yang lebih jauh, setelahnya menuju pantai Klayar dan langsung pulang ke Yogyakarta. Ketika saya melihat peta (google map) saya lihat memang pantai Srau cukup jauh dari pantai Klayar, tapi menurut saya tidak masalah.

Lubang yang dicari
Jalan dari persimpangan pantai Klayar ke pantai Srau cukup membuat saya pusing karena ada bagian jalan yang menurun dan berkelok-kelok serta jalan yang kurang bagus yang ternyata di bawahnya adalah sungai dan setelah itu harus menaiki tanjakan yang cukup tajam. Di tanjakan ini ada bapak-bapak yang harus meninggalkan istri dan anaknya di bawah karena motornya tidak kuat dan kemudian menjemputnya dengan berjalan kaki.

Tiket masuk ke pantai Srau cukup murah, hanya Rp 2000 / orang dan Rp 1000 / motor tanpa harus membayar parkir lagi. Motivasi saya ke pantai ini adalah karena melihat foto di mana terdapat karang yang berlubang di tengahnya dan terletak di tepi pantai (Biasanya yang saya lihat ada di tengah laut). Pantainya cukup bagus, bersih di bagian yang dekat dengan air dan di bagian yang dekat dengan tanah berserakan sampah ranting dan kelapa (hehe).

Tentu saja yang pertama-tama saya tuju adalah karang  berlubang, namun setelah saya susuri tidak terlihat adanya karang tersebut yang membuat saya merasa tertipu oleh foto di Internet. Pantai ini juga dipakai untuk tempat berselancar, tapi saya berpikir ombaknya aja cuma di beberapa bagian pantai, kecil pula, bagaimana mau berselancar. Waktu di sana terlihat bule yang mengendarai motor bebek membawa papan selancar namun kesulitan mengendarai motor (doh).

Pulau-pulau di Pantai Srau
Setelah sana-sini mencari tidak menemukan apa yang dicari, sebelum  cabut saya memutuskan untuk naik tebing dahulu, masih berharap ada pantai yang lain. Beberapa ratus meter sudah dilalui tapi cuma ada tebing dengan jalanan yang cukup tertata. Untungnya dari tebing tersebut saya cukup terhibur karena bisa melihat pulau-pulau kecil. Di bukit ini juga terdapat gardu pandang (atau tempat buat terjun :p) yang bisa melihat nelayan-nelayan ke pulau-pulau kecil mengambili sesuatu, mungkin lobster atau kepiting.
Pantai Srau
Setiap saya ke pantai Selatan Jawa, saya selalu berpikir bahwa pantai yang ada menghadap ke selatan, namun pantai Srau ini ternyata menghadap ke timur (baru sadar ketika sholat). Tidak seperti pantai-pantai di Gunung Kidul yang setiap pantai diberi nama, pantai di Pacitan ini merupakan gugusan dari beberapa pantai.
Sewaktu mau balik, saya berpikir untuk melalui jalan yang lain, ternyata insting saya tepat karena saya menemukan tempat yang ingin saya tuju (tidak terlihat dari bukit yang saya naiki). Setelah mengambil gambar, langsung melanjutkan perjalanan, ternyata jalannya tidak tembus, dan berakhir di pantai yang  sama.
Niat semula ke pantai Klayar pupus sudah karena ada request dari teman untuk ke kota Pacitan. Pikir-pikir saya pernah ke Klayar dan belum pernah ke Pacitan, ya akhirnya saya setujui juga (hehe).






~ to be continued ~

Rabu, 03 November 2010

Situs Liyangan

Kalau melihat foto yang saya perlihatkan di bawah (bukan dari judul) yang pertama kali dibayangkan Anda ke manakah saya pergi? Mungkin sebagian besar mengira saya pergi ke tambang pasir. Sebenarnya tidak salah kalau ada yang mengira saya pergi ke penambangan pasir, karena saya benar-benar pergi ke tambang pasir. Lalu mengapa saya menulis tentang tempat ini? Ya karena sebenarnya di tambang ini ditemukan berbagai peninggalan kuno semacam candi. Kalau cuma penemuan lingga dan yoni atau arca saya tidak terlalu tertarik. Namun dari internet saya membaca bahwa yang ditemukan adalah rumah zaman Mataram Kuno dan disebutkan bahwa daerah tersebut diperkirakan dulunya adalah perkampungan.
Tambang Pasir
Namun ketika ke sana saya tidak menemukan rumah tersebut (sial). Yang saya temukan hanya candi, yoni, benteng (tidak tahu sebenarnya apa), dan pinggiran candi yang masih terkubur. Kapan lagi saya bisa pergi ke tempat arkeologi yang baru saja ditemukan dan belum dikomersialkan (hehe). Sebenarnya dari dulu saya ingin pergi ke tempat-tempat seperti ini. Waktu pergi ke Sangiran yang pertama kali saya pikirkan ya tempatnya berupa daerah terbuka tempat para arkeolog mencari fosil, tapi ternyata sudah dimusiumkan (sial lagi). Kalau kata bapak penjaga parkir, sebenarnya ada yang baru ditemukan tapi kemudian dikubur lagi agar tidak dijual (sial tidak bisa lihat) dan arca-arca yang ada disimpan di rumah penduduk.
Candi (?) yang ditemukan
Setelah saya pergi ke sana saya melihat-lihat di internet dan di sana ada foto semacam saluran air pada rumah tapi saya tidak melihat di lokasi (sial terus). Waktu ke sanapun kegiatan penambangan pasir masih dilakukan sehingga hal ini dapat merusak situs tersebut.
Katanya sih situs tersebut terkubur oleh muntahan dari Gunung Sundoro yang memang lokasi situs tersebut berada di lereng Gunung Sundoro. Kalau dilihat tanah yang ditambang memang memeperlihatkan adanya lapisan tanah yang berbeda. Saya berpikir bahwa erupsi yang terjadi waktu itu cukup hebat karena lokasi tempat itu masih cukup jauh dari puncak gunung tersebut dan kedalamannya pun lebih dari tiga meter. Nanti kalau sudah selesai ditemukan semuanya saya akan ke sana lagi.
Salah satu reruntuhan yang masih tertimbun