Senin, 13 Desember 2010

Candi Sukuh

Candi Sukuh merupakan candi yang terletak di lereng Gunung Lawu. Secara administratif, candi ini terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Kalau dari papan informasi yang ada di sekitaran candi, candi ini terletak pada 07o37,38'85" LS dan 111o07,52'65" BB (ada yang aneh dengan letak astronomis ini, silakan tebak sendiri). Seperti candi yang terletak tidak jauh dari candi ini, yaitu candi Cetha, candi ini juga berbentuk berteras-teras menyerupai punden berundak dengan candi utama berada di bagian paling atas / belakang. Saya pergi ke candi ini setelah sebelumnya ke candi Cetha. Saya kira jalannya menanjak seperti di candi Cetha, namun ternyata tidak begitu menanjak.
Salah satu relief di Candi Sukuh
Teras pertama berupa gapura berbentuk trapesium. Pada gapura ini terdapat relief raksasa yang diperkirakan merupakan suatu sangkalan (saya sulit menjelaskan apa itu "sangkalan" dengan tulisan, dan pastinya tidak ada hubungannya dengan menyangkal) yang berbunyi "gapura buta aban wong". Kalau mau naik ke teras selanjutnya, kita tidak bisa melewati gapura ini karena gapura ini ditutup. Alasan jalur lewat gapura ini ditutup karena di lantainya terdapat relief mesum berupa "p" dan "v" yang sudah tidak lagi dilambangkan dengan lingga dan yoni namun dalam bentuk aslinya (fotonya cari sendiri di google). Walau begitu masih ada kok yoni-yoni seperti biasanya.

Untuk teras kedua saya sudah agak lupa dengan apa yang ada di sana. Kalau dari papan informasi tertulis kalau di teras ini terdapat arca yang berwajah menyeramkan. Arca ini mirip dengan patung-patung yang biasa dibuat di depan pintu masuk suatu rumah, bangunan, atau kampung-kampung (lupa namanya).
Candi Sukuh
Teras ketiga berupa candi utama. Candi ini berbentuk piramid terpasung yang bisa dimasuki dan akan tembus ke atas. Candi ini mirip dengan candi suku-suku di Amerika Tengah walau bentuknya jauh lebih kecil dan tentunya tidak ada altar pengorbanan (yang ada adalah altar sesajen). Dari pintu masuk gapura di teras pertama hingga pintu masuk candi, terletak pada satu garis lurus. Relief-relief di candi ini detailnya masih cukup terlihat walau beberapa bagian kadang sudah tidak ada. Relief di candi ini beberapa terlihat lebih timbul dari candi-candi lain seperti di candi Borobudur dan terlihat seperti patung yang ditempel.

Relief lain
Seperti yang telah saya sebutkan di tulisan mengenai candi Cetha, candi Sukuh inilah yang saya maksud sebagai candi mesum. Kalau tidak percaya, ini beberapa hal yang menunjukkan kemesumannya:
  • Relief "p" dan "v" yang saling berhadapan di gerbang teras pertama (bayangkan sendiri apa maksudnya).
  • Relief-relief dan patung-patung yang kadang dibuat telanjang dan "anu"-nya kelihatan.
  • Terdapat patung (kepalanya dah gak ada), yang sedang memegangi "anu"-nya yang seperti menandakan sedang "o" atau "m" (patung kok gituan :p).

Rabu, 01 Desember 2010

Pantai Timang

Pantai Timang merupakan sebuah pantai yang terletak di desa Purwodadi, kecamatan Tepus, kabupaten Gunungkidul. Pantai ini terletak di dekat pantai Siung, namun akses jalan untuk menuju ke pantai ini lebih sulit daripada ke pantai Siung. Tidak ada yang begitu istimewa dengan pantai Timang ini. Pantainya seperti kebanyakan pantai yang berada di Gunungkidul yang berpasir putih, tidak cocok untuk berenang karena cukup dangkal sampai ke tengah apalagi jika sedang surut (tapi kalau cuma main air bisa saja). Ditambah pantainya cukup sempit tidak begitu lebar.

Pantai Timang
Medan yang harus dilewati untuk menuju pantai ini tidak mudah. Setelah melewati jalan beraspal khas daerah Gunungkidul yang naik turun dan sempit, selanjutnya adalah melewati jalan cor-coran yang dibagi menjadi dua buah jalur yang hanya muat untuk satu buah mobil. Setelah beberapa kilometer melewati jalan cor-coran (sekitar 1-2 km) yang akan berakhir di dusun terakhir (perkampungannya) maka akan ditemui jalan yang benar-benar bisa merusak kendaraan. Sebelum memasuki jalan tersebut, ada peringatan untuk mengutamakan selamat dengan lambang tengkorak di papannya (membuat serem aja).

Jalan terakhir yang harus dilewati adalah berupa jalan yang ditata dari batu. Jalan tersebut bukanlah terdiri dari batu-batu berwarna hitam yang sudah ditata dengan rapi, melainkan batu-batu karang (atau kapur ???) yang berwarna putih dan letaknya benar-benar tidak teratur (beberapa teratur kok, namanya aja ada yang membuat). Kalau jalannya lurus saja sebenarnya tidak masalah, yang menjadi masalah adalah ada beberapa bagian jalan yang jalannya menurun cukup miring ditambah adanya batu yang agak nongol di tengah dengan lokasi yang acak tak menentu. Hal tersebut semakin menjadi-jadi karena ditambah badan yang seperti jungkat-jungkit yang didorong oleh beban (teman yang membonceng) dari belakang.

Apa yang membuat saya untuk berkunjung ke pantai yang menurutnya biasa saja (maklum dah terlalu sering ke pantai-pantai di daerah tersebut) dan memerlukan pengorbanan yang cukup banyak? Sebenarnya yang saya cari bukanlah pantainya, melainkan pulau yang ada di dekat pantai tersebut. Ketika laut sudah terlihat, pulau yang dimaksud belumlah terlihat. Ketika sampai di tempat parkir pun (sebenarnya tidak ada tempat parkir, jadi parkirnya di ujung jalan yang ada) pulau yang dimaksud tetap tidak terlihat. Ketika naik ke puncak bukit terdekat yang ada tempat berteduh pun pulau tersebut tidak terlihat. Untuk melihat pulau tersebut haruslah lewat pantai (tapi kurang bagus) atau di sisi bukit (jangan langsung menuju ke puncak bukit kalau tidak mau capek).

Pulau Timang (saya sebut Pulau Timang walau sepertinya penduduk sekitar punya sebutan sendiri) merupakan pulau karang yang tandus yang cukup kecil. Kalau pulau karang yang kecil sih saya juga sering melihatnya, yang istimewa adalah adanya alat yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Timang ini (walau sebenarnya masih bisa disebut bagian Pulau Jawa). Alat yang dimaksud bukanlah jembatan, tapi kereta (kursi) gantung yang mirip dengan yang ada di area permainan ski. Bedanya kalau yang ini digerakkan dengan tenaga manusia dan tingkat keamanannya sangat tidak terjamin.

Tentu saja ketika sampai di sini saya ingin segera menaikinya tapi bingung cara menggerakannya. Dicoba ditarik kok tidak bergerak, mencari-cari sesuatu yang bisa membuatnya bergerak kok tidak ada, terpaksa harus bertanya dengan orang yang ada di sekitar situ dan turun ke pantai. Di pantai terdapat ibu-ibu yang sedang mencari kayu. Ibu itu bercerita tentang mahasiswa UGM yang beberapa waktu sebelumnya KKN di tempat tersebut dan bercerita tentang mbak KKN (lupa namanya) yang katanya cantik, baik (katanya suka memberi baju dll yang dibawa dari rumahnya), dan mau makan tiwul. Ibu-ibu itu bercerita seolah-olah saya kenal dengan mbak-mbak tersebut dan membanggakannya (tidak seperti KKN saya :p).
Kursi Gantung

Setelah bertanya tentang kursi gantung, ternyata ya memang harus ditarik sendiri. Ibu itu juga menceritakan bahwa yang sering membantu menarik pernah jatuh dari atas tebing dan selamat bisa naik ke atas lagi. Setelah balik dan dicoba lagi ternyata memang bisa bergerak tapi dengan tenaga ekstra (berat). Karena benar-benar bisa digerakkan, saya meminta teman saya untuk membantu menariknya tapi tidak bersedia membantu karena takut terjadi apa-apa terhadap saya. Tapi karena ego saya yang masih besar, saya tetap memaksanya dan tetap tidak mau, sehingga diputuskan untuk menanyakan bapak penjaganya. Dan ternyata penjaganya bilang kalau kursi itu sudah rusak (menghancurkan harapan saya) kalau ditarik ke selatan terasa berat, memang katrolnya sudah berkarat (maklum terkena garam terus). Karena hal tersebut, terpaksa saya harus pulang :-(.

Walau bilang rusak, tapi karena rusaknya cuma karena berat untuk menariknya (tidak rusak beneran), membuat saya ingin ke sana lagi untuk benar-benar mencoba kursi tersebut. Kalau ingin pergi ke tempat ini siapkan kendaraan dalam kondisi prima dan berharap ban tidak bocor di jalan pantainya karena harus berjalan balik cukup jauh (anggap saja 4 km). Selain itu berharap juga tidak hujan atau sehabis hujan, karena batu-batu tersebut cukup licin (pas pulang saya kehujanan, untungnya sudah memasuki dusun terakhir walau jalannya masih berbatu-batu). Dan karena terlalu sering menjaga rem di jalan berbatu jari tangan saya sampai sulit untuk ditekuk buat ngerem.
Jalan menuju pantai

Rabu, 24 November 2010

Kraton Ratu Boko

Kraton Ratu Boko merupakan suatu situs yang terletak di perbukitan Boko yang berada di dua desa, Desa Sambirejo dan Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, DIY. Situs ini merupakan situs yang bercorak Hinduisme dan Buddhisme yang dibangun sekitar abad 8 - 9 masehi. Untuk memasuki situs ini, ada dua jalur resmi (berbayar) yaitu lewat atas dan lewat bawah. Jalan bawah adalah pintu masuk untuk parkir bis yang nantinya harus dilanjutkan berjalan melewati tangga ke atas. Sedangkan jalur atas untuk sepeda motor dan mobil yang melewati jalan yang cukup sempit. Biaya untuk masuk ke situs ini adalah Rp 10000 / orang dan Rp 2000 / motor (untuk mobil kurang tahu). Sebenarnya tertulis biaya tambahan untuk kamera dan handycam (Rp 5000 dan Rp 8000 kalau gak salah) tapi kalau disembunyikan penjaganya juga gak tahu.

Setelah beberapa saat masuk, maka akan melihat taman rusa yang isinya hanya beberapa ekor rusa, namun hewan utama di situs ini bukanlah rusa melainkan kambing. Di berbagai sudut kita akan melihat kambing berkeliaran mencari rumput. Warga sekitar memberi makan kambingnya di situs ini dan hasilnya kotoran kambing di mana-mana. Sempat saya pergi ke situs ini beberapa hari setelah Idul Adha membuat saya ingin menyata kambing-kambing itu (hehe).
Gerbang Utama
Menurut peta yang diberikan, seharusnya tempat pertama yang dilihat adalah candi batu putih, tapi tidak terlihat bangunan candi di lokasi yang ditunjuk di peta, hanya tumpukan batu  yang tidak terlihat menyerupai candi atau sisa bangunan yang warnanya ... hitam (doh). Sebenarnya terdapat tumpukan batu yang membentuk plataran suatu candi, namun lokasinya tidak berada di lokasi yang ditunjuk peta dan batunya juga tidak putih. Lokasi selanjutnya adalah pintu gerbang utama. Terdapat dua buah gerbang  yang letaknya berkelanjutan. Gerbang ini yang biasanya menjadi icon utama dari Ratu Boko.

Di dekat gerbang, kita bisa melihat candi pembakaran. Candi ini di tengahnya terdapat lubang yang pada saat ditemukan terdapat abu di dalamnya. Ternyata abu tersebut merupakan abu dari pembakaran kayu (dari papan  di dekatnya tertulis demikian) tapi di buku petunjuknya ditulis tempat pembakaran mayat (doh). Di dekatnya (sebelah tenggara), terdapat sumur yang katanya airnya mengandung tuah (-_-;). Sumur ini dinamakan Amerta Mantena yang berarti air mantra (buat mbah dukun nyembur kali... :p).

Dari candi pembakaran kita bisa naik ke atas menuju kirana pandang (tulisan di papan petunjuknya bilang begitu). Di atas terdapat arca Durga dan merupakan satu-satunya arca yang ada di kompleks Ratu Boko ini. Dari atas kita bisa melihat candi Prambanan dari kejauhan dan juga gunung Merapi di belakangnya (kalau cerah)  dan sebenarnya kita bisa melihat kedua tempat ini dari plaza Andrawina (letaknya di bawah di dekat tempat parkir atas).
Gua
 Dari atas kiara pandang, kita harus turun lagi (balik) menuju alun-alun. Berbeda dengan alun-alun yang biasanya kita lihat di kota-kota. Alun-alun di sini tidak berada di dekat masjid Agung dan Kantor Pemerintahan (hehe). Di alun-alun ini kita harus hati-hati karena bertebaran kotoran kambing yang tersembunyi di balik rumput. Di dekat alun-alun terdapat Batur Paseban. Paseban adalah ruang tunggu bagi tamu yang ingin menemui raja. Tapi fungsi dari Batur Paseban sendiri sebenarnya tidak diketahui (kok dinamakan paseban ya?).

Bagian lain dari Ratu Boko adalah goa. Walaupun disebut goa sebenarnya bisa dikatakan cuma lubang kecil saja. Di sekitar goa ini terdapat pintu masuk lain yang sepertinya tidak berbayar. Waktu ke sana terdapat sepeda motor yang masuk dari sisi ini. Di jalan yang dekat masuk terdapat tulisan dilarang masuk karena telah memasuki situs. Sebenarnya di situs Ratu Boko terdapat rumah-rumah yang masuk kompleks ini dan tetap dibiarkan. Terdapat beberapa pintu masuk tak resmi lainnya, seperti yang berada di dekat musholla di situs ini.

Terdapat banyak kolam di kompleks Ratu Boko ini. Sebuah kolam terletak di dekat candi pembakaran dan banyak kolam terdapat di dekat pendopo. Kolam-kolamnya berisi ikan, kecebong, ganggang, serangga, dan lain-lain. Sayangnya ikan-ikannya kecil-kecil.

Yang cukup lucu adalah adanya miniatur candi. Jadi bukan candi betulan yang benar-benar ada dan sempurna bentuknya (candi pembakaran cuma terlihat bawahnya saja), melainkan berupa miniatur dengan ukuran sekitar 1,5 meter. Dan tentunya tidak bisa kita masuki (kecuali beberapa bagian tubuh).
Miniatur Candi

Jumat, 12 November 2010

Jalan-Jalan Geje - Part III: Madiun

Setelah melewati gunung-gunung, akhirnya sampai di kabupaten Ponorogo. Karena sudah malam dan bensin sudah menipis, akhirnya tujuan utama adalah mencari pom bensin. Di jalan sempat terlihat masjid yang cukup besar yang ternyata adalah bagian dari pondok Gontor (Baru tahu kalau pondok Gontor banyak cabangnya). Sesampainya di Ponorogo (saat itu ada beberapa titik yang banjir), ada niatan untuk bermalam di kota ini sambil melihat-lihat kota Ponorogo. Namun saya yang ingin melanjutkan perjalanan tetap melanjutkan perjalanan yang ada (hak sopir :p) menuju kota Madiun.

Madiun Square
Ternyata Ponorogo ke Madiun tidak terlalu lama, padahal di peta terlihat cukup jauh (mungkin efek jalan lurus yang datar). Perjalanan Ponorogo - Madiun tidak ada yang menarik karena sudah malam. Sesampainya di Madiun tentu saja mencari makan terlebih dahulu. Diputuskan untuk mencari makan di alon-alon dan segera mencarinya. Ketika di persimpangan alon-alon saya malah melalui jalur yang salah dan harus mencari jalan memutar. Selain memutar, saya sekaligus mencari warnet yang nantinya akan dipakai untuk tempat menginap (malas nginap di hotel) yang menjadi alternatif terbaik untuk orang bokek dan masih punya malu (alternatif lainnya masjid, stasiun, rumah sakit). Setelah menemukan satu langsung menuju ke alon-alon. Di jalan yang dilewati terlihat tulisan Madiun kota Gadis (perdagangan dan industri maksudnya).

Alon-alon kota Madiun cukup ramai dengan orang, baik yang pacaran, cari makan, ngobrol gak jelas, dll. Setelah makan, langsung dihabiskan dengan nongkrong gak jelas di suatu sudut yang di sana sedang ada bapak-bapak dan ibu-ibu ngrumpi (ngomongnya cukup serius karena ada yang ngomong duit 5M). Karena sudah cukup larut, maka dilanjutkan menuju warnet yang diincar. namun setelah dilalui, kok merasa warnetnya gak ada ya dan harus mengambil jalan memutar. Usut punya usut, ternyata warnetnya sudah tutup (doh) sehingga harus mencari tujuan lain. Di jalan dekat stasiun, akhirnya menemukan sebuah warnet dengan tanda 24 jam. Warnetnya berdiri di bangunan tua dengan gaya khas bangunan Cina tempo dulu.
Tempat Pijat Refleksi
Niatnya sih ngenet dan nantinya ditinggal tidur, tapi ternyata kursinya kurang nyaman buat tidur dan beberapa jam pertama orang-orangnya pada ribut teriak-teriak main CS. Ketika waktu menunjukkan jam setengah tiga pagi dan saya masih berusaha untuk tidur, sudah tidak ada orang lain yang ngenet dan warnetnya terdengar mau ditutup. Karena merasa diusir secara halus, maka saya melanjutkan perjalanan ke stasiun yang tidak jauh dari sana. Ternyata di stasiunnya tidak ada kursi tempat nunggu sehingga harus berusaha tidur di lantai. Ketika sudah hampir bisa tidur, teman saya membangunkan saya karena sudah jam 4 dan sudah waktunya untuk sholat Subuh. Ketika melintas di depan warnet, ternyata warnetnya sudah tutup, 24 jam apanya.

Langsung saja saya menuju masjid di dekat alon-alon yang sedang dibangun untuk sholat. Niatnya setelah sholat saya jalan-jalan sebentar sampai cukup terang supaya lampunya dimatiin dulu, tapi sayangnya teman saya tidak mau karena kecapekan, terpaksa saya ngikut. Beberapa saat kemudian ada takmir yang mematikan lampu, saya yang merasa tidak enak langsung bangun dan keluar.
Madiun di pagi hari
Motor ditinggal di masjid saya berjalan-jalan di alon-alon sambil melihat-lihat warga yang berolahraga. Alon-alon Madiun ternyata cukup menarik, di dua sisinya terdapat peta kota Madiun di suatu sisi juga terdapat toilet umum yang dapat ditarik mobil (seperti gandengan truk tapi memiliki roda). Di alon-alon juga terdapat jalur lari-lari atau jalan-jalan yang dibuat berputar-putar. Yang paling menarik adalah adanya jalur pijat refleksi yang disusun dari batu-batu penghias aquarium dan panjang lintasan lebih dari seratus meter. Saya mencoba berjalan di sana dan merasa kesakitan karena terdapat batu-batu yang diberdirikan (bukan ditidurkan). Di tengah jalan baru 'ngeh' kalau yang memakai tempat tersebut kebanyakan orang tua yang sepertinya sarafnya sudah kurang peka. Saya yang masih muda belum ada setengah jalan aja sudah hampir menyerah karena merasa kesakitan, tapi karena ada orang tua yang berjalan dengan entengnya (jalan biasa) yang sepertinya tidak merasa kesakitan membuat saya semangat untuk merampungkannya (apalagi sandal ditinggal di ujung jalur yang ada).

Setelah cukup puas berjalan-jalan, langsung mencari makan. Niatnya mau beli pecel Madiun, tapi kok yang jualan sudah menghilang ketika ingin dibeli, terpaksa beli soto babat. Harga satu porsi soto Rp 4000, tempe Rp 500, dan teh anget Rp 500, cukup untuk mengisi perut saya (walau porsi segitu sebenarnya masih jauh dari cukup). Setelah makan, tujuan selanjutnya adalah masjid, apalagi kalau bukan buat tidur, hehe. Akhirnya di masjid ini saya bisa tidur walau cuma satu jam karena teman saya merengek ingin segera cabut, saya sebenarnya ogah-ogahan, tapi ya mau gimana.

Soto Babat
Setelah dari Madiun tujuan berikutnya adalah Trinil di Ngawi, tapi setelah menempuh sepanjang perjalanan kok tidak ada petunjuk satupun dan tiba-tiba sudah sampai perbatasan Jawa Tengah. Padahal jalan raya Ngawi tersebut hanya mempunyai sedikit persimpangan, bisa-bisanya tidak ketemu. Karena malas untuk balik, terpaksa langsung dilanjutkan ke Yogya tanpa berhenti (kecuali di Pom Bensin Sukoharjo). Perjalanan Madiun-Yogyakarta ditempuh dalam waktu 4 jam dengan teman membonceng yang mengantuk, dan perjalanan pun berakhir karena sesampainya di Yogya saya langsung tepar (efek kurang tidur).

~ end ~

Jalan-Jalan Geje - Part II: Pacitan

Perjalanan menuju kota Pacitan tentunya berada di luar rencana. Setelah melihat jalan tembus dari pantai Srau ke pantai utama, ternyata untuk menuju ke pantai ini (juga pantai Watu Karung) lebih baik menggunakan jalan utama (bukan jalan dari pantai Klayar) karena jalannya lebih enak. Sepanjang perjalanan, yang dicari adalah.... tanda menjaga kebersihan tentang larangan buang BAB sembarangan yang unik. Soalnya ketika berangkat menemukan tanda yang memakai kata-kata berbahasa Inggris. Ternyata tanda tersebut semakin sulit ditemukan ketika menuju ke kota Pacitan.

Jika terus melewati jalan, maka nantinya akan tembus ke teluk Pacitan, sayangnya tidak ada spot yang cukup bagus untuk mengambil gambarnya dari atas. Setelah sampai di bawah saya langsung merasa bahwa telah keluar dari pegunungan Sewu yang didominasi oleh karst. Yang pertama kali dicari adalah alon-alon. Ketika berhenti di suatu traffic light, tiba-tiba ada yang tanya, dan ternyata adalah seorang bule. Dia bertanya "Where's the center". Karena kaget tiba-tiba ditanya bule, tanpa menyiapkan logat langsung menjawab "I dunno", dengan logat Jawa yang sangat kentara terdengar. "I never came here before." Sepertinya dia adalah bule yang ada di pantai Srau, namun kali ini yang mengendarai adalah bule cewek (yang tanya cowok). Ketika lampu hijau, bule ceweknya terlihat sulit menjalankan motornya, sepertinya giginya masih normal (doh).

Sesampainya di alon-alon ya cuma lewat saja, enath mau ngapain. Waktu menunjukkan jam 4, tapi sepertinya kota ini sudah sepi banget. Ketika berada di lampu merah yang bila ke kiri ke Ponorogo, kanan ke Solo, dan lurus ke Trenggalek, saya menanyakan arah ke teman saya, "Mau belok mana?" Ternyata teman saya menunjuk ke arah Ponorogo. Ya sudahlah pikir-pikir mau melihat jalan walau saya tahu kalau nantinya jaraknya akan jauh banget.
Kota 1001 Goa
Awal perjalanan ke Ponorogo jalannya di sana-sini sedang ada perbaikan dan yang saya lihat di depan adalah gunung-gunung. Setelah beberapa kilometer, saya melihat sungai yang mengalir di antara bukit-bukit. Sungai tersebut terlihat mengalir membelah bukit-bukit yang ada. Dan saya berpikir jangan-jangan jalannya akan berada di pinggir sungai tersebut. Benar saja, ternyata jalan yang harus saya lalui adalah jalan di pinggir bukit yang digerus dengan sebelahnya berupa sungai yang meliuk-liuk (jalannya juga). Jalan yang ada pun kebanyakan rusak. Sungai tersebut nantinya bermuara di teluk Pacitan (gak tahu nama sungainya, malas cari tahu).

Di suatu titik (sepertinya di Kecamatan Arjosari) terdapat bagian jalan yang hampir semuanya terendam air (saat itu hujan) hanya sedikit bagian yang dekat bukit yang tidak terendam. Di depan terdapat mobil yang melaju tapi menghindari genangan yang ada (saya masih berada beberapa meter dari genangan). Ketika saya berada di daerah genangan, tiba-tiba muncul truk yang cukup kencang yang juga akhirnya juga melaju di bagian kanan (bagian jalur saya). Hasilnya sekujur tubuh saya terkena cipratan (sial, ada yang masuk ke dalam lagi).
Salah satu pesan tentang Kebersihan
Beberapa kilometer dari titik tersebut, ketika saya melaju terlihat orang-orang melihat ke atas yang ternyata ada guguran tanah dan batu (awalnya berpikir ada orang yang nglemparin batu dari atas). Beberapa meter kemudian terlihat bongkahan batu yang menutupi jalan (sebelumnya tidak terlihat karena terhalang-halangi bukit tersebut). Saya lalu melaju di sebelah kanan dan orang-orang yang menonton berteriak (gak begitu terdengar) dan membuat saya berhenti. Ketika saya berhenti teman saya langsung turun dan berlari, saya yang tadinya tenang-tenang saja langsung panik gara-gara melihat teman saya lari.  Motor langsung saya putar tanpa memundurkannya walau sudah mepet banget dengan pinggir jalan (sudah masuk jalan tanah). Ternyata kalau hujan memang sering terdapat guguran di lokasi tersebut.
Sungai yang menemani sepanjang jalan
Jika melaju di jalan raya Pacitan-Ponorogo ketika hujan, maka akan terlihat air terjun kecil yang mengalir (tidak terlalu bagus). Beberapa kilometer dari lokasi guguran, akan ada jalan yang benar-benar sempit yang sepertinya hanya muat untuk sebuah mobil (di kiri tebing, di kanan sungai). Saya sempat berpikir kalau malam hari bagaimana bis bisa lewat ya kalau tidak ada yang ngatur, siapa yang harus mengalah. Setelah itu di lokasi lain terdapat tambang-tambang pasir (atau apa?) yang warnanya tetap putih walau terkena hujan (???) yang sialnya pasir-pasir tersebut diletakkan di pinggir jalan (bahaya banget, bisa buat kepeleset kendaraan). Ketika sampai Slahung (Kabupaten Ponorogo), saya bersyukur karena telah melewati jalan tersebut.

Melewati jalan Pacitan-Ponorogo benar-benar bikin malas. Kalau tidak terpaksa saya tidak akan melewati jalan tersebut lagi apalagi kalau hujan.



Jalan-Jalan Geje - Part I: Pantai Srau

Niat awalnya adalah pergi ke pantai Srau dan pantai Klayar yang ada di kabupaten Pacitan. Jalan ke pantai Srau yang dilalui adalah dari Yogyakarta -Gunung Kidul - Wonogiri - Pacitan. Jalan pegunungan Sewu sudah sering kulalui, jadi tidak ada masalah atau keterkejutan. Sesampainya di Giri Belah (Kabupaten Wonogiri), saya mengambil arah selatan melalui Paranggupito. Jika menuju pantai Klayar, arah ini lebih dekat daripada melalui Pacitan (lupa nama daerahnya) langsung. Tujuan pertama saya adalah pantai Srau dulu yang lebih jauh, setelahnya menuju pantai Klayar dan langsung pulang ke Yogyakarta. Ketika saya melihat peta (google map) saya lihat memang pantai Srau cukup jauh dari pantai Klayar, tapi menurut saya tidak masalah.

Lubang yang dicari
Jalan dari persimpangan pantai Klayar ke pantai Srau cukup membuat saya pusing karena ada bagian jalan yang menurun dan berkelok-kelok serta jalan yang kurang bagus yang ternyata di bawahnya adalah sungai dan setelah itu harus menaiki tanjakan yang cukup tajam. Di tanjakan ini ada bapak-bapak yang harus meninggalkan istri dan anaknya di bawah karena motornya tidak kuat dan kemudian menjemputnya dengan berjalan kaki.

Tiket masuk ke pantai Srau cukup murah, hanya Rp 2000 / orang dan Rp 1000 / motor tanpa harus membayar parkir lagi. Motivasi saya ke pantai ini adalah karena melihat foto di mana terdapat karang yang berlubang di tengahnya dan terletak di tepi pantai (Biasanya yang saya lihat ada di tengah laut). Pantainya cukup bagus, bersih di bagian yang dekat dengan air dan di bagian yang dekat dengan tanah berserakan sampah ranting dan kelapa (hehe).

Tentu saja yang pertama-tama saya tuju adalah karang  berlubang, namun setelah saya susuri tidak terlihat adanya karang tersebut yang membuat saya merasa tertipu oleh foto di Internet. Pantai ini juga dipakai untuk tempat berselancar, tapi saya berpikir ombaknya aja cuma di beberapa bagian pantai, kecil pula, bagaimana mau berselancar. Waktu di sana terlihat bule yang mengendarai motor bebek membawa papan selancar namun kesulitan mengendarai motor (doh).

Pulau-pulau di Pantai Srau
Setelah sana-sini mencari tidak menemukan apa yang dicari, sebelum  cabut saya memutuskan untuk naik tebing dahulu, masih berharap ada pantai yang lain. Beberapa ratus meter sudah dilalui tapi cuma ada tebing dengan jalanan yang cukup tertata. Untungnya dari tebing tersebut saya cukup terhibur karena bisa melihat pulau-pulau kecil. Di bukit ini juga terdapat gardu pandang (atau tempat buat terjun :p) yang bisa melihat nelayan-nelayan ke pulau-pulau kecil mengambili sesuatu, mungkin lobster atau kepiting.
Pantai Srau
Setiap saya ke pantai Selatan Jawa, saya selalu berpikir bahwa pantai yang ada menghadap ke selatan, namun pantai Srau ini ternyata menghadap ke timur (baru sadar ketika sholat). Tidak seperti pantai-pantai di Gunung Kidul yang setiap pantai diberi nama, pantai di Pacitan ini merupakan gugusan dari beberapa pantai.
Sewaktu mau balik, saya berpikir untuk melalui jalan yang lain, ternyata insting saya tepat karena saya menemukan tempat yang ingin saya tuju (tidak terlihat dari bukit yang saya naiki). Setelah mengambil gambar, langsung melanjutkan perjalanan, ternyata jalannya tidak tembus, dan berakhir di pantai yang  sama.
Niat semula ke pantai Klayar pupus sudah karena ada request dari teman untuk ke kota Pacitan. Pikir-pikir saya pernah ke Klayar dan belum pernah ke Pacitan, ya akhirnya saya setujui juga (hehe).






~ to be continued ~

Rabu, 03 November 2010

Situs Liyangan

Kalau melihat foto yang saya perlihatkan di bawah (bukan dari judul) yang pertama kali dibayangkan Anda ke manakah saya pergi? Mungkin sebagian besar mengira saya pergi ke tambang pasir. Sebenarnya tidak salah kalau ada yang mengira saya pergi ke penambangan pasir, karena saya benar-benar pergi ke tambang pasir. Lalu mengapa saya menulis tentang tempat ini? Ya karena sebenarnya di tambang ini ditemukan berbagai peninggalan kuno semacam candi. Kalau cuma penemuan lingga dan yoni atau arca saya tidak terlalu tertarik. Namun dari internet saya membaca bahwa yang ditemukan adalah rumah zaman Mataram Kuno dan disebutkan bahwa daerah tersebut diperkirakan dulunya adalah perkampungan.
Tambang Pasir
Namun ketika ke sana saya tidak menemukan rumah tersebut (sial). Yang saya temukan hanya candi, yoni, benteng (tidak tahu sebenarnya apa), dan pinggiran candi yang masih terkubur. Kapan lagi saya bisa pergi ke tempat arkeologi yang baru saja ditemukan dan belum dikomersialkan (hehe). Sebenarnya dari dulu saya ingin pergi ke tempat-tempat seperti ini. Waktu pergi ke Sangiran yang pertama kali saya pikirkan ya tempatnya berupa daerah terbuka tempat para arkeolog mencari fosil, tapi ternyata sudah dimusiumkan (sial lagi). Kalau kata bapak penjaga parkir, sebenarnya ada yang baru ditemukan tapi kemudian dikubur lagi agar tidak dijual (sial tidak bisa lihat) dan arca-arca yang ada disimpan di rumah penduduk.
Candi (?) yang ditemukan
Setelah saya pergi ke sana saya melihat-lihat di internet dan di sana ada foto semacam saluran air pada rumah tapi saya tidak melihat di lokasi (sial terus). Waktu ke sanapun kegiatan penambangan pasir masih dilakukan sehingga hal ini dapat merusak situs tersebut.
Katanya sih situs tersebut terkubur oleh muntahan dari Gunung Sundoro yang memang lokasi situs tersebut berada di lereng Gunung Sundoro. Kalau dilihat tanah yang ditambang memang memeperlihatkan adanya lapisan tanah yang berbeda. Saya berpikir bahwa erupsi yang terjadi waktu itu cukup hebat karena lokasi tempat itu masih cukup jauh dari puncak gunung tersebut dan kedalamannya pun lebih dari tiga meter. Nanti kalau sudah selesai ditemukan semuanya saya akan ke sana lagi.
Salah satu reruntuhan yang masih tertimbun

Minggu, 31 Oktober 2010

Curug Sewu

Curug Sewu merupakan sebuah air terjun yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Apakah hubungan antara Curug Sewu dengan Grojogan Sewu? Tidak ada. Keduanya adalah air terjun yang berbeda walaupun sama-sama mempunyai nama Sewu. Curug dan Grojogan mempunyai arti yang sama, yaitu air terjun. Waktu kecil saya sering terbolak-balik antara kedua tempat ini karena namanya yang mirip. Kalau Grojogan Sewu terletak di Kabupaten Karanganyar, Curug Sewu ini terletak di Kabupaten Kendal.

Selain terdapat air terjun, di Curug Sewu terdapat kebun binatang yang katanya dulu ada ular terpanjang di dunia (ternyata cuma salah ukur), taman bermain, gardu pandang, dan lain-lain. Saya yang hanya bertujuan untuk ke air terjunnya sebenarnya tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Namun yang jadi masalah adalah untuk turun ke air terjun harus membayar lagi (doh seperti pasar malam saja). Mana saya beli dua buah karcisnya cuma dapat satu (gak masalah sih jadi hemat kertas, tapi gak dapat asuransi :p).

Jalan untuk turun ya cuma berupa tangga yang beberapa anak tangganya sudah rusak. Sebenarnya setelah turun ke tempat paling enak untuk melihat air terjun masih bisa turun lagi. Namun ketika mau turun ternyata sudah sepi dan isinya cuma orang-orang yang sedang mojok (bikin malas aja). Karena untuk terus turun tidak kesampaian ya akhirnya turun mendekati air terjun. Sebenarnya sudah ada pembatas namun banyak orang yang mendekati air terjun sehingga saya ikutan turun :p. Untuk turun sih tidak memerlukan usaha yang keras, namun ketika sampai di sungai dan ingin mendekati air terjun butuh usaha ekstra. Ada dua jalan (yang sebenarnya tidak bisa disebut jalan), yang satu menaiki batu yang cukup tinggi dengan bawahnya berupa sungai dan yang satunya melewati punggungan batu yang di sampingnya langsung ke sungai setinggi lebih dari 3 meter.

Saya memilih yang pertama karena ada orang yang nunjuk-nunjuk. Untuk menaikinya harus dibantu teman dan kaki yang ngangkang (doh), dan sandal yang putus. Tapi teman saya jadi kesulitan karena tidak ada yang membantu (untung ada orang yang mau bantu).

Ketika mau mengambil foto di air terjun juga terbilang sulit karena dimonopoli oleh pengunjung lain. Air terjunnya sih tidak terlalu tinggi, tapi karena tidak bawa baju ganti ya terpaksa tidak basah-basahan (hubungannya???). Waktu mau balik saya pakai jalur yang punggungan, ternyata lebih mudah (sial).

Curug Sewu

Rabu, 27 Oktober 2010

Candi Cetha

Candi Cetha merupakan candi yang terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian sekitar 1400 mdpl. Candi ini terletak di Dukuh Cetha, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jadi jangan lupa membawa jaket jika mau pergi ke candi ini dan bahan bakar secukupnya.

Menurut saya, candi ini adalah salah satu candi yang cukup membutuhkan perjuangan untuk sampai ke sana. Jalan yang harus ditempuh adalah jalanan yang hampir sebagian besar menanjak dengan tanjakan yang cukup tajam apalagi pada jalan-jalan terakhir. Setidaknya ketika menuju ke candi ini ada hiburan berupa kebun teh dan pemandangan yang cukup bagus (mungkin) (kalau tidak berawan).
Candi Cetha
Candi ini merupakan candi Hindu dengan bentuk punden berundak (ingat pelajaran sejarah pada bab zaman pra sejarah :p). Bangunan utamanya berada di paling belakang atau dengan kata lain yang paling atas. Sayangnya pengunjung tidak boleh masuk ke sana karena tempat itu dihalangi pintu (juru kuncinya juga gak tahu di mana). Kalau melihat dari foto di atas sih tidak mirip candi yang biasanya, ya karena yang benar-benar candinya ada di bagian belakang. Candi ini masih digunakan untuk tempat ibadah sehingga akan dijumpai (dicium) bau dupa. Di bagian atas juga terdapat rumah-rumah dari kayu yang entah apa yang ada di dalam rumah itu.
Burung (???)
Yang cukup menarik di candi ini adalah gayanya yang mirip pura di Bali, sehingga jika ada orang yang melihatnya dapat salah mengira jika tempat tersebut sebenarnya berada di Pulau Jawa. Selain itu juga terdapat batu-batu yang ditata membentuk segitiga yang di belakangnya terdapat patung kura-kura dan di depannya terdapat lingga. Jadi kalau dilihat secara keseluruhan nantinya malah terlihat seperti burung (???).

Kalau saya boleh berpendapat, saya akan menyebut candi ini sebagai candi mesum karena banyak terdapat lingga yang mempunyai bentuk yang mirip dengan apa yang diwakilinya (tidak perlu saya sebutkan). Sayangnya masih di kabupaten yang sama (hanya berada di kecamatan sebelahnya) terdapat candi yang menurut saya lebih mesum XP.

Bali (???)

Minggu, 24 Oktober 2010

Pantai Sadranan


Menurut Anda, apa yang paling menyebalkan ketika Anda pergi ke pantai? Menurut saya adalah hujan. Hal inilah yang terjadi ketika saya pergi ke pantai Sadranan. Untungnya hujan berlangsung cukup lama sehingga saya sampai bisa beputar mengendarai motor sejauh lebih dari 25 Km (maksudnya).
Pantai Sadranan ini masuk wilayah kabupaten Gunung Kidul dan termasuk jejeran pantai yang ada di daerah tersebut. Pantai ini terletak di antara pantai Krakal dengan pantai Sundak. Pantai ini menjadi satu dengan pantai Ngandong dengan pemisahnnya berupa karang yang agak menjorok ke laut namun pasirnya masih menjadi satu.

Pantai Sadranan
Yang menarik dari pantai ini adalah adanya pulau (sebenarnya masih bagian dari pulau Jawa) yang terlihat dari pantai ini. Alasan yang lain adalah karena pantainya cukup bersih jika dibandingkan dengan pantai di sekitarnya dan cukup sepi karena kurang di kenal. Ya cuma itu  saja tidak ada yang lain. Kalau dari googling adalah adanya penginapan yang seharga 4 juta semalam (eeeeehhhh). Waktu ke pantai tersebut memang ada bule yang datang. Jadi sepertinya benar adanya kalau tempat itu dihargai mahal.

Pantai Sadranan dari Atas
Sebenarnya saya tidak berniat menuju pantai ini, yang saya tuju adalah pantai Slili. Pada awalnya saya menganggap ini adalah pantai Slili karena dulu sempat lihat-lihat di google map kalau pantai ini adalah pantai Slili. Karena tidak masuk dari pintu depan, anggapan itu pun masih melekat di benak saya. Ketika saya berniat pulang, saya mencoba cari-cari jalan yang akhirnya malah dicegat oleh petugas parkir (padahal maksudnya cuma mau lewat). Karena saya orangnya tidak enakan ya saya bayar saja sekalian tanya-tanya dan katanya pantai Slili berada di sebelah situ (bapaknya menunjuk dengan tidak jelas :p). Di tengah jalan saya menemukan petunjuk yang menunjuk ke pantai Sadranan dan saya hanya lewat saja dan berhenti di pantai sebelahnya.

Pemberat Jaring
Ketika di pantai sebelah, saya berpikir pantai yang saya kunjungi ini adalah pantai Slili dan yang sebelah adalah pantai Sadranan. Saya pun mengeceknya, dan begitulah hal yang mengubah pandangan saya.
Setelah balik, saya pun googling tentang pantai Slili. Dan yang saya temukan adalah bahwa pantai yang ditunjuk itu adalah pantai Slili (membingungkan). Kalau menurut petunjuk di tempat itu adalah pantai Sadranan, kalau dari googling itu adalah pantai Slili. Jadi manakah yang benar? Atau memang kedua pantai itu adalah tempat sama. Kalau ke sana lagi saya berniat tanya lebih jelas.

Crustacea (lupa namanya :p)

Kamis, 21 Oktober 2010

Gunung Sumbing

Gunung Sumbing merupakan salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Gunung tertinggi ke tiga di pulau Jawa ini (3371 mdpl) terletak di tiga kabupaten, yaitu Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Terdapat beberapa rute pendakian untuk menuju puncak gunung ini, salah satunya dari Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar. Rute Garung ini merupakan rute termudah untuk menuju puncak Gunung Sumbing, namun tetap saja rute ini termasuk cukup sulit dan melelahkan. Terdapat dua jalur, yaitu melalui jalur lama dan jalur baru yang keduanya akan bertemu di pestan. Selama mendaki gunung ini, saya hanya menggunakan jalur baru karena jalur ini lebih mudah dari yang satunya.

Sunset
 Kalau ingin mendaki terdapat beberapa larangan yang tertulis di basecamp, seperti jangan bicara kotor, buang air sembarangan, dan lain-lain. Katanya apabila dilanggar akan ada sesuatu yang menimpa. Gunung ini termasuk gunung yang gundul dengan sedikit hutan. Sebagian besar lerengnya telah menjadi ladang penduduk. Untuk mendaki diperlukan persediaan air yang cukup banyak karena mata air yang ada hanya satu dan itupun sudah kotor karena banyak pendaki yang membuang sampah di sana. Pernah ketika mendaki kelompok saya kehabisan air minum di puncak dan tidak minum setetes air pun sampai di basecamp sampai-sampai bibirpun sangat kering. Ternyata hal ini disebabkan beberapa anggota kelompok yang pertama kali mendaki ke gunung ini menganggap gunung ini mudah seperti gunung-gunung yang sebelumnya mereka daki dan cuma membawa air sedikit (doh).

Selain sudah gundul, ketika musim kemarau juga sering terjadi kebakaran. Saya pernah melihat asap ketika berada di puncak dan saya kira itu cuma asap kawah yang letaknya ada di bawah (doh). Ternyata setelah turun dari puncak, saya baru sadar bahwa asap itu berasal dari api yang membakar semak-semak. Dan lokasinya berada di punggungan sebelah tenda kami ditinggal.
Bekas kebakaran
Tempat yang paling nyaman untuk mendirikan tenda adalah di area watu kotak karena tempat ini cukup terlindung dari angin. Namun Watu Kotak ini tidak terlalu luas dan katanya angker. Bila sudah cukup lelah, biasanya pestan pun menjadi tempat mendirikan tenda walau angin yang datang cukup kencang. Tapi jangan lupa kalau pestan merupakan singkatan dari peken (pasar) setan, hehe. Ketika pertama mendaki gunung ini ternyata bebarengan dengan diadakannya bersih gunung oleh penduduk dari yang tua (belum aki-aki) hingga anak-anak SD. Para anak SD ini mendaki dengan lincah (maklum cuma bawa sedikit air minum) sehingga menyebabkan anggota kelompok kami merasa kalah dari anak-anak ini (hehe).

Salah satu senior menyarankan untuk mendirikan tenda di watu kotak namun sesampainya di sana, namun setelah mendaki bersusah payah, kami melihat bahwa tempat itu telah penuh sesak digunakan oleh penduduk (doh), sehingga terpaksa mendirikan tenda di dekat tempat itu. Karena tidak cukup luas, terpaksa tidak semua tenda didirikan dan ada yang tidur di luar. Namun ketika pagi, para penduduk telah mendaki ke puncak dan ternyata tempat kami adalah jalan. Karena orang yang tidur di luar memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam sleeping bag, sehingga para  orang yang lewat mengira itu cuma barang dan menginjaknya (weks) padahal isinya orang (doh).
Bayangan gunung
Puncak Gunung Sumbing berupa kaldera dengan kawah di tengahnya. Gunung ini merupakan gunung api yang sudah tidak aktif lagi namun di beberapa titik terdapat asap berbau belerang yang keluar. Untuk menuju puncak tertinggi juga cukup sulit untuk dilakukan karena cukup terjal.
Suasana pagi
Untuk mendapatkan sunrise dari gunung ini cukup sulit, karena kita harus mendaki hingga puncak (tidak harus puncak tertinggi) agar dapat melihatnya. Ketika pagi kita juga dapat melihat bayangan dari gunung ini yang memberikan efek cukup aneh pada mata. Yang paling indah adalah ketika melihat sunset dengan gunung Sindoro dan dataran tinggi dieng sebagai objeknya.
Kawah

Minggu, 17 Oktober 2010

Candi Borobudur

Candi Budha yang paling terkenal di Indonesia tak lain dan tak bukan adalah candi Borobudur. candi yang terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang ini merupakan candi yang termasuk world heritage atau warisan dunia. Dulu candi ini dianggap salah satu tujuh keajaiban dunia, namun sepertinya yang menganggapnya sebagai salah satu 7 wonders hanyalah orang Indonesia saja. Saya tidak pernah melihat literature (kecuali buatan Indonesia) yang menyebutkan bahwa candi ini termasuk salah satu 7 wonders. Sepertinya kesalahpahaman yang menganggap bahwa world heritage sama dengan seven wonders.
Candi Borobudur
Kadang orang menganggap bahwa candi ini terletak di provinsi DI Yogyakarta. Namun saya sebagai orang Jawa Tengah merasa tidak terima (hehe). Bila melihat informasi dari luar negeri (misal dari internet), kadang candi Prambanan disebut sebagai candi Borobudur (doh).
Salah satu relief
Tiket masuk ke candi untuk wisatawan lokal seharga Rp15000 (atau 20rb ya???), dan untuk wisatawan manca lebih mahal. Waktu masuk gerbang ada petugas yang membawa metal detektor (sepertinya setelah kejadian bom karena dulu sepertinya tidak) namun tidak digunakan untuk memeriksa (doh sama aja boong).
Candi Borobudur ini kalau dari atas terlihat seperti bunga teratai (sayang belum pernah lihat kecuali dari google map dan tv). Kalau pengin mengetahui cerita di reliefnya kita harus menyewa guide atau mungkin ngikut rombongan bule yang biasanya membawa guide dan ikut nguping (hehe). Kalau tidak mau tahu paling mengira-ngira sendiri dan mungkin mengira-ngiranya agak nyeleneh (hehe).

Kalau mau ngelilingi tiap tingkat candi yang ada 10 tingkat ini (kalau gak salah) pastinya bisa diitung-itung olahraga soalnya lumayan bikin ngos-ngosan. Borobudur ini sepertinya adalah tempat favorit lembaga bimbingan belajar bahasa inggris  di daerah Kedu dan DIY untuk melatih anak didiknya agar bisa berbicara langsung dengan bule.

Menurut saya relief yang paling menarik adalah relief kapal yang katanya dulu telah menjelajah hingga Afrika. Kalau relief lain karena menggabung ke suatu cerita jadinya saya kurang tertarik (paling isinya gambar orang atau binatang).
Salah satu relief kapal
Yang paling repot jika ke sini adalah jika sedang kebelet apalagi bila kebeletnya di puncak, harus turun candi dulu untuk ke toiletnya. Dulu ketika saya masih kecil saya sempat kebelet dan mencari sudut yang sepi dan pipis di sana (blush).

Dasar orang Indonesia, walau sudah jelas tertulis di papan tetap saja melanggarnya. Peringatan dilarang duduk atau dilarang naik ke stupa tetap dilanggar, apalagi di stupa utamanya yang sebagian besar malah digunakan sebagai tempat duduk dan salah satu lokasi foto yang paling sering digunakan. Objek utama yang paling sering diambil yaitu stupa yang terbuka yang terdapat patung Budhanya. Entah mengapa jika melihat foto-foto di majalah mengenai candi Borobudur selalu saja objek ini yang muncul.
Salah satu arca

Selasa, 12 Oktober 2010

Pantai Baron

Pantai Baron merupakan pantai yang terletak di desa Kemadang, kecamatan Tanjungsari, kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai ini berada di paling barat gugusan pantai-pantai wisata di Gunung Kidul walau keluar dari gugusan tersebut masih terdapat pantai yang letaknya lebih di  arah barat seperti pantai Ngrenehan dan Ngobaran.

Pantai nelayan ini merupakan pantai yang paling ramai dikunjungi wisatawan di daerah Gunung Kidul walaupun kadang pantai yang terletak lebih ke timur lebih bagus dari pantai ini. Pantai ini satu-satunya pantai yang berpasir coklat agak keputihan di gugusan tersebut dan pantai yang paling enak untuk basah-basahan.
Di sisi barat pantai terdapat sungai yang berasal dari sungai bawah tanah yang sering dipakai untuk mandi juga memancing. Biasanya orang-orang bermain air di sungai ini jika tidak bermain air di laut. Kita bisa melihat pemandangan pantai dan gugusan pantai lain dengan menaiki bukit yang berada di sisi timur pantai. Untuk naik, sudah ada tangga sehingga tidak perlu susah-susah mendaki. Terdapat dua buah jalur naik yang nantinya juga akan menjadi satu. Di salah satu tangga terdapat kotak agar pengunjung membayar seribu rupiah walaupun tidak ada penjaganya.

Sungai di Baron
Jika mengikuti jalur tersebut, nantinya kita bisa tembus ke pantai kukup. Jika menginginkan hal yang lebih ekstrim kita bisa naik ke mercusuar yang tingginya setara dengang tinggi BTS. Di atas mercusuar ini anginnya terasa sangat kencang semakin ke atas semakin kencang. Bahkan rangka-rangka mercusuar bersuara berisik sehingga bisa membuat was-was orang yang naik. Pada anak tangga terakhir, tidak terdapat pegangan pengaman sehingga untuk mencapai puncak mercusuar harus (tidak harus juga sih) memegang anak tangga di atasnya serta memegang  puncak mercusuar.

Mercusuar
Lantai di puncak mercusuar terbuat dari rangkaian besi yang dibentuk kasa sehingga terlihat rapuh. Jika berdiri akan terasa menakutkan karena anginnya kencang, jika duduk terutama di pinggir, juga akan menakutkan, karena tinggi pengaman lebih tinggi dari saya ketika duduk (doh), jadi malah bisa "mblobos" ke ruang antara pegangan dengan lantainya. Di puncak terdapat sel surya yang digunakan untuk menyalakan lampu mercusuar di malam harinya.


Pantai Baron dari Mercusuar
Kalau untuk makan tentunya tidak perlu khawatir, karena terdapat banyak toko walaupun saya malas untuk makan di sana karena saya tidak mau mengeluarkan uang berlebih (doh).

Kalau menurut saya lokasi paling enak di pantai Baron ya di puncak mercusuar (ini main ke pantai atau main ke mercusuar??). Ya karena sedikit orang yang punya nyali untuk sampai di puncak mercusuar sehingga saya bisa memonopoli tempat itu (hehe). Lebih tepatnya saya lebih menyukai tempat yang relatif sepi.

Deretan pesisir Gunung Kidul